Politik . 22/05/2025, 21:44 WIB
Penulis : Sigit Nugroho | Editor : Sigit Nugroho
fin.co.id – Meski demokrasi politik di Indonesia dinilai telah mengalami kemajuan signifikan sejak reformasi 1998, para aktivis lintas generasi menilai bahwa demokrasi ekonomi masih tertinggal jauh. Hal ini mencuat dalam sarasehan memperingati 27 tahun reformasi bertajuk “Dari Demokrasi Politik Menuju Transformasi Demokrasi Ekonomi” yang digelar di Jakarta, Rabu, 21 Mei 2025.
Koordinator fasilitator acara, Haris Rusly Moti, yang juga aktivis 1998, menyebutkan bahwa perjuangan reformasi tak seharusnya berhenti di bilik suara semata. Demokrasi yang sesungguhnya, menurutnya, adalah ketika akses terhadap sumber daya ekonomi juga terbuka untuk semua rakyat.
“Kami ingin demokrasi kebebasan politik ini tidak hanya berhenti di TPS, tapi juga menjangkau akses rakyat terhadap kekayaan negara. Itu poin pentingnya,” tegas Haris dalam forum tersebut.
Haris juga menyoroti narasi yang terlalu memusatkan keberhasilan reformasi hanya pada generasi 1998. Padahal, menurutnya, perjuangan telah dirintis sejak 1970-an.
“Generasi 1998 itu hanya memetik hasil dari perjuangan panjang yang dimulai jauh sebelumnya, bahkan sejak tahun 1970,” ujarnya.
Ia menilai, kejatuhan Orde Baru bukan hanya karena aksi mahasiswa, tetapi juga karena kekuasaan yang memang sudah melemah secara struktural.
“Kekuasaan Soeharto waktu itu sudah uzur. Reformasi datang bukan karena satu malam, tapi karena sejarah panjang,” katanya lagi.
Aktivis senior Hariman Siregar, tokoh kunci dalam Peristiwa Malari 1974, menyebutkan bahwa demokrasi politik Indonesia sebenarnya telah matang. Hal itu terlihat dari enam kali transisi kekuasaan tanpa kekerasan sejak 1998.
Namun, ia tak menampik masih banyak kelemahan yang harus dibenahi.
“Kita punya demokrasi yang dewasa secara prosedural. Tapi dalam praktik sehari-hari, masih banyak yang lemah, terutama civil society dan partai politik yang hanya cari selebritas,” kritik Hariman.
Menurutnya, demokrasi ekonomi hanya akan berjalan jika prinsip demokrasi benar-benar dipraktikkan oleh masyarakat dan negara, bukan hanya jargon semata.
Sarasehan ini turut dihadiri sejumlah tokoh penting lintas generasi, termasuk Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer, Wakil Menteri Sosial Agus Jabo Priyono, Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman, hingga pengamat politik Rocky Gerung.
Namun, Puan Maharani (Ketua DPR RI sekaligus Ketua DPP PDIP) dan Sufmi Dasco Ahmad (Wakil Ketua DPR RI dan Ketua Harian DPP Gerindra), yang dijadwalkan sebagai pembicara utama, batal hadir.
“Katanya saya saja yang ambil alih semua. Rupanya mereka tidak ingin mendahului bahwa hari ini Gerindra dan PDIP sudah jadi satu,” kelakar Hariman disambut tawa hadirin.
Sarasehan ini menegaskan bahwa meski Indonesia telah merdeka secara politik, perjuangan menuju demokrasi ekonomi yang adil dan merata masih jauh dari usai. Aktivis menuntut negara agar tidak hanya memfasilitasi pemilu, tetapi juga memperjuangkan akses ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia. (*)
PT.Portal Indonesia Media