Hukum dan Kriminal . 21/02/2025, 18:36 WIB
Brata Ruswanda selanjutnya membeli tanah di bawahnya seluas 10 hektar dari keluarga kerajaan, pada tahun 1968 lengkap ada surat aslinya dari Kepala Desa Kampung Baru. "Dari dokumen Surat Keterangan Tanah (SKT) dengan nomor PEM-3/13/KB/1973 itulah kita dapat pastikan, bahwa memang itu asli adanya. Tahun 1973, kepala desa setempat mengeluarkan SKT-nya," ulas Poltak.
Lawyer yang dikenal dengan panggilan PH Jepang itu menyatakan pada tahun 2015, kepala kampung yang mengeluarkan surat itu juga sudah pernah diperiksa oleh penyidik Polda Kalteng, mempertanyakan soal surat SK itu. "Di berita acara pemeriksaannya disebut bahwa surat SKT tahun 1973 itu adalah benar-benar dia yang membuat, jadi jangan dibilang palsu atau tidak benar, itu ada di BAP-nya," tegasnya.
Poltak lalu membeberkan sejumlah dokumen lain untuk membuktikan kesahihan hak kepemilikan keperdataan tanah milik kliennya itu. Tahun 1974, Dinas Pertanian pernah meminjam tanah tersebut kepada Brata Ruswanda untuk dijadikan lahan pembibitan, ada suratnya berupa hak pinjam pakai pada tahun 1973. "Kepala Dinas Pertanian Provinsi, Y.H Ratih meminjam kepada Brata Ruswanda. Ini, ada suratnya, dan ini juga yang ditahan oleh Mabes Polri," bebernya.
Poltak menyebut, dari 10 hektar tanah milik Brata Ruswanda itu, sebagiannya sudah dijual dan dibagi-bagikan kepada anaknya dan telah berserfikat. "Sebagian tanah ini telah dijual oleh Brata Ruswanda kepada orang lain dan sudah keluar sertifikatnya tahun 2001/2002, itu semua bersumber dari SKT ini, ada sekitar 12 bidang dan tidak ada masalah, itu tak ada masalah tuh," jelasnya.
Namun, cerita menjadi lain. Pada tahun 2005, ketika Brata Ruswanda hendak mensertifikatkan tanahnya secara keseluruhan di BPN setempat. "Saat pengukuran dan cek lokasi dilakukan tidak ada masalah, begitu sudah mau dibayar dan tinggal menunggu keluar sertifikatnya, tiba-tiba ada intervensi dari Dinas Pertanian, sehingga sertifikat batal dikeluarkan oleh BPN.
"Katanya ini adalah aset tanah Dinas Pertanian berdasarkan SK Gubernur 1974, yang dokumennya hanya berupa fotocopyan. Adapun wujud aslinya tidak pernah terlihat," ujar Poltak.
Pengacara yang dikenal berani dan kritis ini menduga SK Gubernur 1974 sengaja diciptakan dan dihembuskan untuk menguasai aset tanah Brata Ruswanda. "Tidak tertutup kemungkinan itu dokumen fiktif yang dipakai sebagai alat oleh mafia tanah untuk merebut aset tanah dari almarhum Brata Ruswanda. Melihat dari lokasinya yang luas di tengah kota, aset ini punya nilai tinggi," paparnya.
"Patut kita duga SK Gubernur 1974 adalah fiktif," sambungnya lagi.
Dirtipidum Dipertanyakan
Atas dasar itu, Poltak mempertanyakan Dirtipidum Bareskrim Polri, Brigjen Pol. Djuhandan Rahardjo Puro.
Dilansir dari Meganews.id, Djuhandani menyatakan bahwa surat-surat yang diserahkan pelapor belum diberikan karena masih menunggu mekanisme gelar perkara.
Menurut Dirtipidum, surat-surat dokumen tersebut saat ini dalam proses pengawasan dan pengendalian Wakabareskrim dan Kabareskrim. Djuhandani beralasan, hasil uji laboratorium forensik menyimpulkan barang bukti yang diajukan oleh pelapor juga ternyata non identik atau palsu. "Hal itulah perlu pertimbangan kemana BB itu akan diserahkan, dan bagaimana cara menyerahkannya, karena BB yang diajukan pelapor juga palsu," tegasnya.
Djuhandani menegaskan jika sudah melaksanakan tugas secara profesional. "Kami penyidik melaksanakan tugas secara profesional, mana ada penyidik menggelapkan BB, kurang kerjaan saja. Kalau masalah itu dilaporkan ke propam itu tidak masalah karena itu wujud transparansi Polri dalam melaksanakan tugas," jawabnya dilansir dari Meganews.id.
Menimpali hal itu, Poltak menilai Dirtipidum perlu banyak belajar tentang ilmu hukum. "Dari mana hak dia (Dirtipidum) bisa menyatakan dokumen itu tidak identik sebagai yang palsu, yang berhak menyatakan dokumen itu asli atau abal-abal adalah pengadilan. Suruh belajar lagi dia, ilmu hukum yang dasar apa dia gak paham," ungkap Poltak dengan heran.
"Orang yang membuat dokumen surat (SKT) itu juga ada di dalam BAP dan sudah diperiksa di Polda Kalteng, apa urusannya tidak identik dengan surat kita, yang kita laporkan adalah Bupati Kota Waringin Barat ibu Nurhidayah yang kita duga membuat surat palsu, kok surat mereka tidak diperiksa malah surat kita disebut palsu, ngaco itu Dirtipidum," sambung Poltak.
PT.Portal Indonesia Media
Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210
Telephone: 021-2212-6982
E-Mail: fajarindonesianetwork@gmail.com