Politik . 18/03/2025, 20:27 WIB
Penulis : Sigit Nugroho | Editor : Sigit Nugroho
fin.co.id - Putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Alissa Wahid, mengungkap bahwa penghapusan Dwifungsi ABRI oleh ayahnya harus dibayar dengan harga mahal. Menurutnya, saat proses tersebut berlangsung, tekanan besar datang hingga panser militer sempat diarahkan ke Istana Negara yang ditempati Gus Dur saat itu.
Gus Dur akhirnya harus melepaskan jabatannya sebagai Presiden RI karena tetap bersikeras menghapus Dwifungsi ABRI. Namun, ia tidak gentar terhadap tekanan tersebut karena meyakini bahwa dalam negara demokrasi, supremasi tertinggi berada di tangan hukum dan sipil, bukan militer.
Dalam acara yang berlangsung di Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Selasa, 18 Maret 2025, Alissa Wahid mengingatkan bahwa revisi Undang-Undang (UU) TNI yang saat ini sedang dibahas berpotensi mengembalikan masa kelam Dwifungsi ABRI. Ia menegaskan bahwa meskipun tidak disebut dengan nama yang sama, esensi dari kebijakan tersebut tetap serupa, yakni memberi ruang bagi militer untuk masuk ke ranah sipil.
"Walaupun namanya bukan Dwifungsi ABRI, tapi kalau esensinya membawa senjata ke ruang sipil, itu sama saja. Dan inilah yang ingin kita ingatkan. Jangan sampai kita mengulang kesalahan yang sama," ujar Alissa.
Menurutnya, anggapan bahwa pemerintahan tidak dapat berjalan baik tanpa keterlibatan militer merupakan kesalahan besar. Justru, dengan adanya intervensi militer di jabatan sipil, rakyat akan semakin rentan berhadapan dengan moncong senjata.
Alissa Wahid mengingatkan bahwa sejarah telah membuktikan bahaya dari militerisasi dalam pemerintahan sipil. Ia menyebut berbagai tragedi masa lalu seperti aksi represif terhadap demonstran, Tim Mawar, tragedi Santa Cruz, konflik di Irian Jaya (sekarang Papua), serta insiden Talang Sari sebagai bukti nyata dari dampak buruk Dwifungsi ABRI.
"Saya yakin banyak yang masih ingat bagaimana dulu demonstrasi harus berhadapan dengan moncong senjata. Kita tidak boleh membiarkan sejarah kelam itu terulang kembali," tegasnya.
Alissa menekankan bahwa militer tidak boleh masuk ke ruang sipil karena keberadaannya yang dilengkapi senjata dapat mengancam demokrasi dan kebebasan sipil. Ia pun berharap masyarakat terus mengawal kebijakan ini agar tidak terjadi kemunduran dalam demokrasi Indonesia. (Cahyono)
PT.Portal Indonesia Media