Politik . 06/07/2025, 19:05 WIB
Penulis : Sigit Nugroho | Editor : Sigit Nugroho
fin.co.id - Proyek penulisan ulang sejarah Republik Indonesia yang digagas Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) terus menjadi sorotan publik.
Di tengah polemik objektivitas dan inklusivitas narasi, penggunaan diksi tertentu, khususnya frasa 'pemerkosaan massal' dan penyebutan pelaku sebagai pria 'berambut cepak' dalam konteks Tragedi Mei 1998, memicu perdebatan serius.
Para ahli bahasa dan sejarawan angkat bicara mengenai implikasi penggunaan diksi ini dalam historiografi.
Profesor Dr. Rahayu Kusumawardani, seorang ahli bahasa dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menekankan pentingnya presisi dan sensitivitas dalam penggunaan bahasa, terutama saat merepresentasikan kekerasan seksual.
"Penggunaan frasa 'pemerkosaan massal' dalam konteks sejarah Tragedi Mei 1998 memang sangat krusial dan harus didasarkan pada verifikasi data yang akurat," ujar Prof. Rahayu, saat dihubungi Disway.id, Minggu 6 Juli 2025.
"Jika ada bukti kuat dan terdokumentasi yang menunjukkan bahwa insiden pemerkosaan terjadi secara sistematis dan melibatkan banyak korban di berbagai lokasi dalam waktu bersamaan, maka penggunaan diksi 'massal' dapat dibenarkan untuk menggambarkan skala dan modus kejahatan tersebut," sambungnya.
Namun, ia juga mengingatkan agar tidak terjebak pada generalisasi tanpa bukti.
"Bahasa memiliki kekuatan untuk membentuk persepsi. Jika digunakan secara sembarangan atau tanpa dasar yang kuat, diksi tersebut bisa menimbulkan misinterpretasi atau bahkan meremehkan penderitaan korban yang sebenarnya," ujarnya. (Hasyim Ashari)
PT.Portal Indonesia Media