Hukum dan Kriminal . 05/11/2025, 19:47 WIB
Penulis : Sigit Nugroho | Editor : Sigit Nugroho
fin.co.id - Kejaksaan Agung (Kejagung) memberi tenggat waktu hingga pertengahan 2026 kepada Musim Mas Grup dan Permata Hijau Grup untuk melunasi sisa uang pengganti sebesar Rp4,4 triliun terkait kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO). Dua perusahaan raksasa sawit itu sebelumnya sudah menyatakan sanggup membayar melalui skema cicilan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna, menegaskan bahwa kedua korporasi harus menepati komitmen pembayaran yang sudah disepakati. Jika tidak, Kejagung akan mengambil langkah tegas dengan menyita dan melelang aset mereka untuk menutupi kerugian negara.
“Ada tenggatnya, tahun 2026. Kalau kurang lebih kesanggupannya sekitar pertengahan tahun,” kata Anang kepada awak media, Rabu (5/11/2025).
Sebelumnya, Kejagung telah melakukan penyitaan sementara terhadap sejumlah aset milik Musim Mas dan Permata Hijau Grup. Langkah ini diambil karena keduanya belum menuntaskan pembayaran uang pengganti yang ditetapkan dalam perkara korupsi ekspor CPO. Anang menyebut, penyitaan ini merupakan bagian dari upaya memastikan kewajiban pembayaran tetap berjalan.
“Kita memang dulu sudah melakukan beberapa penyitaan, dan memang ada uang pengganti yang masih belum disetorkan,” jelas Anang. Ia menambahkan bahwa proses penyitaan dilakukan sesuai prosedur hukum dan bersifat sementara hingga perusahaan melunasi kewajibannya.
Berdasarkan data Kejagung, total kewajiban pembayaran uang pengganti dalam kasus ini mencapai Rp17,7 triliun. Dari jumlah tersebut, masih tersisa Rp4,4 triliun yang belum disetorkan ke kas negara oleh dua perusahaan tersebut. Anang menegaskan, Musim Mas dan Permata Hijau telah menyatakan kesanggupan untuk mencicil sisa pembayaran.
“Dari Rp17,7 triliun, ada Rp4,4 triliun yang belum dibayarkan dan mereka sanggup membayar secara bertahap,” ujar Anang. Ia menambahkan bahwa Kejagung akan terus mengawasi proses pelunasan agar tidak terjadi keterlambatan di luar batas waktu yang telah disepakati.
Anang juga menjelaskan bahwa aset-aset yang saat ini disita akan dikembalikan kepada masing-masing perusahaan setelah seluruh kewajiban uang pengganti dilunasi. Namun, ia belum mengungkapkan total nilai dari aset yang disita. Ia hanya menyebutkan bahwa aset tersebut meliputi perkebunan, pabrik, hingga tanah.
“Ada beberapa aset yang kami sita. Ada perkebunan, ada pabrik, ada juga tanah,” ungkapnya. Langkah ini disebut sebagai bentuk pengawasan agar proses pembayaran berjalan sesuai rencana tanpa mengganggu operasional bisnis kedua grup sawit tersebut.
Kejagung menegaskan akan melelang seluruh aset yang sudah disita apabila Musim Mas dan Permata Hijau gagal memenuhi komitmen pembayaran hingga batas waktu yang ditetapkan. Hasil lelang nantinya akan digunakan untuk menutup kerugian negara akibat kasus korupsi ekspor CPO tersebut.
“Apabila mereka tidak komit terhadap perjanjiannya, maka aset yang ada akan kami sita dan kami lelang untuk menutupi uang pengganti kerugian negara,” tegas Anang.
Selain Musim Mas dan Permata Hijau, Wilmar Grup juga termasuk dalam daftar korporasi yang diwajibkan membayar uang pengganti. Wilmar bahkan menjadi penyumbang terbesar dengan total pembayaran mencapai Rp11,8 triliun. Sementara itu, Musim Mas baru menyetor Rp1,8 triliun, dan Permata Hijau Rp186 miliar.
Dengan begitu, total uang pengganti yang sudah masuk ke kas negara mencapai Rp13,2 triliun. Namun, sisanya sebesar Rp4,4 triliun masih menggantung dan menjadi tanggung jawab dua grup besar tersebut. Kejagung berharap kedua perusahaan mematuhi tenggat yang telah disepakati agar proses hukum tidak berlanjut ke tahap penyitaan permanen dan lelang.
Kejagung menegaskan tidak akan memberikan toleransi tambahan jika kedua korporasi melanggar kesepakatan. Langkah tegas berupa lelang aset sudah disiapkan sebagai antisipasi. “Kami pastikan semua berjalan sesuai koridor hukum. Negara tidak boleh dirugikan lagi,” ujar Anang menegaskan.
Kasus korupsi ekspor CPO ini menjadi salah satu perkara besar yang melibatkan korporasi raksasa di sektor kelapa sawit. Pemerintah berharap penyelesaian kasus ini bisa menjadi pelajaran bagi pelaku industri agar lebih patuh terhadap hukum dan mengedepankan tata kelola bisnis yang bersih.
PT.Portal Indonesia Media