Megapolitan . 06/03/2025, 14:21 WIB
Penulis : Mihardi | Editor : Mihardi
fin.co.id - Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) mendengar dan menampung segala aspirasi pegiat seni perempuan. Dalam hal itu terungkap sejumlah hal seperti kesetaraan gender dan pelecehan seksual hingga intelektual, masih dihadapi seniman perempuan dalam berkarya.
Sejumlah seniman perempuan mengungkapkan pengalamannya menghadapi hal tersebut dalam "Sarasehan Seniman Perempuan" yang digelar Simpul Seni Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bersama Puan Seni di Aula PDSHB Jassin, Gedung Ali Sadikin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat, Selasa 4 Maret 2025. Sarasehan ini digelar untuk membicarakan perkembangan sektor seni dan keterlibatan seniman perempuan di dalamnya.
Salah seorang seniman yang mengatakan pelecehan dalam berseni yakni Nadine Nadila, pelaku teater. Dia mengatakan, pelecehan dalam berseni sudah dirasakan sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) dan dianggap lumrah oleh sebagian orang.
"Saya menyesal baru mempelajari soal kesetaraan gender baru-baru ini. Padahal pengalaman yang mengguncang mental itu, saya alami dari saat sekolah. Bahkan awalnya tidak tahu. Pencerahan-pencerahan ini harus sampai ke pelajar juga," kata Nadine.
"Dulu diberi tahu, ini yang harus dibayarkan untuk bisa bikin teater yang bagus. Pernah curhat sama teman perempuan. Tapi kata dia, 'tidak apa-apa', kalau sama sutradara itu, pasti jadi," lanjutnya.
Oleh karena itu, dia mengusulkan agar edukasi soal pencegahan pelecehan seksual dilakukan pada usia kelompok pelaku teater sedini mungkin. "Pelajar yang rentan, masih lugu, jadi harus dibekali," ujarnya.
Kartika Jahja dari Institute Ungu mengatakan, seniman perempuan masih menghadapi stempel expired date selama berkarya. Ketika sudah dicap expired (kedaluwarsa), tutur dia, seniman perempuan dianggap tidak lagi sesuai standar.
"Pelecehan intelektual masih ada di bidang tertentu yang dianggap belum bisa dilakukan perempuan. Seperti sound engineer. Sulitnya pelatihan-pelatihan di bidang tertentu karena dianggap bidang laki-laki. Hal ini menghambat regenerasi pegiat seni perempuan," terang Kartika.
Composer perempuan dari Perempuan Komponis: Forum & Lab, Gema Swaratyagita, juga mengungkap hal yang serupa. Dia mengatakan, diskriminasi dialami oleh komponis perempuan yang menjadi seorang ibu.
Diskriminasi dimulai sejak mereka hamil dengan diksi, “Tidak mungkin langsung berkarya setelah melahirkan, minimal dua tahun. Makanya banyak yang berhenti berkarya setelah jadi ibu. Stuck, tidak menciptakan karya baru,” katanya.
Anggota Komite Seni Rupa dan Komisi Simpul Seni Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Aquino Hayunta mengatakan, temuan ini akan dipetakan dan dibahas bersama Puan Seni untuk dicarikan jalan keluar dan ke mana masalah tersebut akan dibawa.
Bendahara Puan Seni Indonesia, Irawita, mengatakan tidak menutup kemungkinan pertemuan serupa akan digelar untuk membahas hasil pemetaan yang dilakukannya bersama DKJ.
PT.Portal Indonesia Media