Internasional

Rodrigo Duterte Ditangkap ICC: Kontroversi dan Sikap Tegas DPR RI

news.fin.co.id - 18/03/2025, 19:58 WIB

Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte (Reuters)

fin.co.id – Penangkapan mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, oleh Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) menuai berbagai tanggapan, termasuk dari anggota DPR RI. Sejumlah pihak menilai kebijakan Duterte dalam memberantas narkoba adalah bentuk penegakan hukum yang tegas.

Anggota Komisi I DPR RI, Slamet Riyadi dan Oleh Soleh, menilai langkah Duterte dalam perang terhadap narkoba menunjukkan komitmen kuat dalam menegakkan hukum di negaranya.

“Tindakan pemberantasan narkoba adalah wujud dari penegakan hukum yang tegas,” ujar Slamet, Selasa, 18 Maret 2025.

Oleh Soleh menambahkan bahwa setiap negara harus memiliki kebijakan yang tegas dalam menghadapi kejahatan narkoba.

Advertisement

“Negara perlu bertindak tegas terhadap kejahatan narkoba. Konsistensi dalam kebijakan ini penting agar hukum benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu,” kata politikus PKB tersebut.

Kedaulatan Hukum dan Isu Global

Sekretaris Jenderal Gerakan Nasional Anti Narkoba (Granat), Firman Subagyo, menegaskan bahwa narkoba adalah ancaman global yang harus ditangani dengan ketegasan hukum. Ia menolak pandangan bahwa pengedar narkoba tidak boleh mendapat hukuman mati.

“Hukuman mati adalah bentuk ketegasan terhadap para perusak generasi. Jika ada pihak luar yang ingin menghalangi penegakan hukum suatu negara, maka negara tersebut harus mempertahankan kedaulatannya,” ujarnya.

Penangkapan Duterte Bermuatan Politik?

Pakar hukum internasional, Hikmahanto Juwana, melihat unsur politik dalam kasus Duterte lebih dominan dibanding aspek hukum. Ia menyoroti konflik antara Duterte dan pemerintahan saat ini yang dipimpin oleh Ferdinand Marcos Jr.

“Kasus ini tidak terlepas dari dinamika politik di Filipina. Marcos Jr memanfaatkan perintah ICC untuk melemahkan keluarga Duterte, yang merupakan rival politiknya,” ujar Hikmahanto.

Advertisement

Ia juga menyoroti bahwa Filipina bukan lagi anggota ICC sejak pemerintahan Duterte menarik diri dari keanggotaan. Dengan demikian, kewenangan ICC dalam menangani kasus ini dipertanyakan.

“Banyak negara yang bukan anggota ICC mengabaikan perintah penangkapan dari lembaga tersebut. Namun, di Filipina, justru dimanfaatkan untuk kepentingan politik,” tambahnya.

Hikmahanto juga membandingkan kasus Duterte dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang juga mendapatkan perintah penangkapan dari ICC tetapi tetap bebas beraktivitas. Bahkan, Amerika Serikat mengancam ICC jika berani menangkap Netanyahu.

Tantangan untuk ICC

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Diponegoro, Eddy Pratomo, menilai ada tantangan besar bagi ICC dalam membuktikan netralitasnya.

“Apakah kasus Duterte akan diterapkan secara adil terhadap pemimpin dunia lain yang diduga melakukan kejahatan internasional, seperti Netanyahu?” tanyanya.

Jika ICC gagal menunjukkan netralitasnya, maka dugaan bahwa lembaga ini hanya digunakan untuk kepentingan negara-negara tertentu akan semakin kuat. (*)

Advertisement

Sigit Nugroho
Penulis