Ekonomi . 01/05/2025, 21:39 WIB
Penulis : Sigit Nugroho | Editor : Sigit Nugroho
fin.co.id - Revisi UU Migas masih belum menemui titik terang meski sudah bergulir sejak era Presiden SBY. Mengapa prosesnya begitu lambat? Ekonom senior Ichsanuddin Noorsy punya jawaban yang lugas dan tajam: tidak adanya kemauan politik dari pemerintah.
Pernyataan itu disampaikan Ichsanuddin saat memberikan kuliah umum bertajuk "Holding Danantara dan Implikasinya ke Pertamina" yang digelar Forum Wartawan Sobat Energi (Forwatki) di kantor Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Jakarta, Rabu, 30 April 2025.
Menurut Ichsanuddin, seharusnya tidak terlalu sulit bagi pemerintah dan DPR untuk menuntaskan revisi UU Migas. Namun faktanya, proses revisi itu tak kunjung selesai, bahkan telah melewati tiga periode pemerintahan: dari SBY, Jokowi, hingga kini di bawah kepemimpinan Prabowo.
Berbeda dengan UU Minerba yang justru berhasil direvisi berkali-kali tanpa hambatan berarti. Ichsanuddin menilai mulusnya revisi UU Minerba mencerminkan kuatnya political will dari pemerintah dan DPR.
“Revisi UU Minerba itu berjalan nyaris tanpa drama. Lancar-lancar saja di DPR. Itu karena memang ada kemauan politik,” jelasnya.
Lebih jauh, Ichsanuddin mengajak publik melihat pola kekuasaan di balik regulasi. Ia menyebut bahwa sektor minerba saat ini banyak dikuasai oleh perusahaan swasta. Hal ini membuat pelaku industri tambang lebih aktif dan punya ruang melakukan lobbying kepada para pembuat kebijakan.
Sementara itu, sektor migas mayoritas masih dikelola oleh BUMN, terutama Pertamina. Posisi ini membuat dinamika politik di sektor migas tak seagresif minerba. Inilah yang menurut Ichsanuddin menjadi salah satu alasan mengapa revisi UU Migas tak kunjung diprioritaskan.
“Sekarang kalau kita lihat siapa saja orang terkaya di Indonesia, pasti mereka dari sektor tambang, bukan migas,” ujar Ichsanuddin penuh makna.
Bagi Ichsanuddin, solusinya sederhana: jika pemerintah sungguh ingin menyelesaikan revisi UU Migas, maka hal itu bisa saja dilakukan. Hambatannya bukan teknis atau substansi, tapi lebih kepada keinginan politik dari eksekutif dan legislatif.
“Yang dibutuhkan adalah, sekali lagi, political will dari pemerintah,” tegasnya.
Pernyataan Ichsanuddin Noorsy menyoroti satu hal penting yang selama ini luput dari perhatian publik: bahwa nasib sektor migas sangat tergantung pada keberanian pemerintah dalam mengambil sikap politik. Jika sektor strategis ini terus dibiarkan tanpa payung hukum yang sesuai zaman, maka potensi besar migas nasional bisa jadi tidak optimal. (*)
PT.Portal Indonesia Media