fin.co.id - Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2025 tentang Perlindungan Negara terhadap jaksa dalam Melaksanakan Tugas dan Fungsi Kejaksaan Republik Indonesia resmi digugat ke Mahkamah Agung (MA). Permohonan ini didaftarkan oleh Advokat Windu Wijaya, Senin, 26 Mei 2025.
Dalam pengajuan ini, Windu Wijaya didampingi oleh tim kuasa hukum dari Kantor Hukum Merga Silima Lawyers & Counsellor. Mereka terdiri dari Roy Joretta Barus, Hazmin Andalusi Sutan Muda, Pangihutan Blasius Haloho, Ardin Firanata, Hendro Wijaya, dan Arnold Salaba Kembaren.
"Permohonan ini dilandasi oleh keprihatinan terhadap potensi pelanggaran terhadap asas legalitas dan hierarki norma hukum dalam sistem ketatanegaraan," kata Roy Joretta Barus dalam keterangannya, Selasa, 27 Mei 2025.
Dia mengatakan, ada dua pokok alasan yang menjadi dasar permohonan. Pertama, pelibatan TNI sebagai pemberi perlindungan tidak sesuai dengan UU Kejaksaan.
"Perpres 66/2025 menetapkan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) turut serta dalam memberikan perlindungan terhadap jaksa. Sementara itu, Pasal 8A ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan menyebut secara tegas bahwa Polri adalah institusi yang berwenang memberikan perlindungan terhadap jaksa dalam pelaksanaan tugasnya," kata Roy.
Menurutnya, dimasukkannya TNI sebagai pihak pelindung tentu merupakan suatu penambahan norma baru yang tidak memiliki dasar dalam undang-undang. Hal ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, terutama karena TNI memiliki fungsi dan struktur komando yang berbeda dari aparat penegak hukum sipil.
"Kami memahami adanya kebutuhan akan perlindungan maksimal terhadap jaksa dalam menjalankan tugasnya. Namun jika memang negara memandang perlunya keterlibatan TNI dalam mekanisme perlindungan tersebut, maka langkah yang paling tepat secara hukum adalah melakukan revisi terhadap UU Kejaksaan terlebih dahulu, dan secara eksplisit memasukkan TNI sebagai subjek pelindung di samping Polri," pungkasnya.
Baca Juga
Roy menilai menghadirkan TNI sebagai pelindung institusional adalah kebijakan yang memerlukan legitimasi undang-undang, bukan sekadar melalui Perpres. Dengan demikian, lanjutnya, ketertiban hukum tetap terjaga dan kehormatan lembaga tinggi negara tetap dihormati.
Alasan kedua, bentuk peraturan tidak sesuai perintah undang-undang. Roy menjelaskan Pasal 8A ayat (3) UU Kejaksaan menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan terhadap jaksa harus diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP). Namun dalam hal ini, Presiden justru menerbitkan Peraturan Presiden, yang kedudukannya berada di bawah PP dalam hierarki perundang-undangan.
Hal ini menciptakan potensi disharmoni dan inkonsistensi dalam sistem regulasi nasional, sekaligus menimbulkan preseden yang dapat berulang pada kebijakan lain jika tidak dikoreksi secara konstitusional.
"Kita perlu menegakkan prinsip bahwa bentuk peraturan harus sesuai dengan tingkat norma yang diperintahkan undang-undang. Ini bukan soal semantik administratif, melainkan soal kepatuhan terhadap sistem hukum yang berlaku," pungkas Roy.
Atas dasar tersebut, pihaknya selalu kuasa hukum Pemohon meminta MA menyatakan bahwa Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2025 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan menyatakan bahwa perlindungan terhadap jaksa hanya dapat diberikan oleh institusi sebagaimana diatur dalam Pasal 8A UU Kejaksaan.
"Kami juga meminta Presiden Republik Indonesia untuk mencabut Perpres Nomor 66 Tahun 2025," katanya.
Roy menambahkan permohonan uji materi ini bukan bentuk penolakan terhadap substansi perlindungan bagi jaksa yang justru dianggap penting dan strategis dalam konteks penegakan hukum yang bebas dari tekanan. Namun, perlindungan tersebut harus dibangun di atas fondasi hukum yang sah, melalui prosedur yang benar, dan dengan bentuk peraturan yang tepat.
"Sebagai warga negara yang menjunjung tinggi hukum, kami percaya bahwa Presiden memiliki itikad baik untuk memperkuat institusi Kejaksaan. Namun dalam negara hukum, itikad baik harus berjalan seiring dengan ketaatan pada prinsip legalitas," pungkasnya.