Politik . 18/07/2025, 17:02 WIB

MK Tolak Gugatan Wajib S1 untuk Capres-Cawapres: Dinilai Batasi Hak Warga Negara

Penulis : Mihardi  |  Editor : Mihardi

fin.co.id - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi terhadap Pasal 169 huruf r Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), yang diajukan dalam perkara Nomor 87/PUU-XXIII/2025. Permohonan ini meminta agar syarat pencalonan presiden dan wakil presiden diubah menjadi minimal lulusan strata satu (S1).

"Amar putusan mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK, Suhartoyo, sebagaimana dikutip, Jumat, 18 Juli 2025.

Dalam penjelasannya, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menyampaikan, usulan perubahan tersebut justru akan membatasi hak konstitusional warga negara. Jika pendidikan minimal ditetapkan S1, maka warga yang hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat SMA tak lagi memiliki kesempatan untuk mencalonkan diri, meskipun memiliki kemampuan dan dukungan rakyat.

Ridwan menambahkan, ketentuan dalam Pasal 169 huruf r UU Pemilu saat ini tidak secara eksklusif menetapkan lulusan SMA sebagai satu-satunya batasan. Tetapi juga tidak menutup kemungkinan bagi siapapun yang telah menyelesaikan pendidikan menengah atas untuk maju sebagai calon presiden atau wakil presiden.

"Apabila pemaknaan norma Pasal 169 huruf r UU 7/2017 diubah sebagaimana petitum para Pemohon, kandidat yang dapat diajukan sebagai calon presiden dan calon wakil presiden hanya terbatas pada kandidat yang telah lulus sarjana strata satu (S-1)/sederajat," tegas Ridwan.

"Dalam batas penalaran yang wajar, pemaknaan baru (harus S1) demikian justru mempersempit peluang, sehingga dapat membatasi warga negara yang akan diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebagai calon presiden dan wakil presiden," lanjutnya.

Ridwan menjelaskan, ketentuan mengenai pendidikan calon presiden sudah diatur dalam UU Pemilu dan mengacu pada Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945. Dalam aturan tersebut, tepatnya pada Pasal 169, 170, dan 171, disebutkan bahwa syarat pendidikan minimal adalah tamatan SMA, MA, atau yang setara.

Dia juga menegaskan, kebijakan hukum dalam penetapan syarat pendidikan ini tetap berada dalam ranah pembentuk undang-undang, selama tidak melanggar prinsip-prinsip konstitusi.

"Dalam hal ini, kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang tetap dinilai konstitusional sepanjang tidak melanggar: moralitas; tidak melanggar rasionalitas; bukan ketidakadilan yang intolerable; tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang; bukan merupakan penyalahgunaan kewenangan; tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945; tidak menegasikan prinsip-prinsip dalam UUD NRI Tahun 1945; tidak bertentangan dengan hak politik; tidak bertentangan dengan kedaulatan rakyat; tidak dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur); serta tidak melampaui dan/atau menyalahgunakan kewenangan (detournement de pouvoir)," tutur Ridwan.

Namun demikian, MK juga memberikan ruang bahwa ketentuan ini bisa saja ditinjau kembali di masa depan jika dibutuhkan, seiring dengan dinamika perkembangan zaman dan kebutuhan nasional.

"Bilamana diperlukan, pembentuk undang-undang dapat mengkaji kembali perihal persyaratan batasan pendidikan paling rendah/minimum bagi calon presiden dan calon wakil presiden dengan menentukan syarat pendidikan yang dinilai ideal bagi seorang calon presiden dan calon wakil presiden demi kepentingan terbaik bangsa dan negara (best interest of the nation)," pungkasnya.

Sebelumnya, dalam sidang perdana di MK pada Selasa, 3 Juni 2025, Hanter Oriko Siregar sebagai pemohon menyatakan, pendidikan setingkat SMA hanya memberikan pengetahuan umum dan tidak membekali peserta didik dengan pemahaman yang komprehensif tentang tata kelola negara. Materi mengenai fungsi legislatif, yudikatif, dan eksekutif, serta kemampuan analisis kritis terhadap isu-isu global, hanya diperoleh di jenjang pendidikan tinggi.

“Presiden sebagai kepala negara adalah simbol marwah bangsa. Oleh karena itu, dibutuhkan pemimpin yang memiliki wawasan luas, termasuk dalam membaca dinamika global dan memahami dampak perdagangan internasional terhadap Indonesia,” kata Hanter.

Permohonan ini juga menyoroti bahwa presiden memiliki kewenangan untuk mengajukan rancangan undang-undang yang berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat. Dengan demikian, kemampuan intelektual dan pengetahuan yang mendalam sangat penting untuk mengemban amanah tersebut.

Atas dasar pertimbangan itu, pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk mengabulkan permohonan mereka dan menyatakan bahwa ketentuan Pasal 169 huruf r Undang-Undang (UU) Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Share artikel ini :

TERKINI

TERPOPULER

           
© 2024 Copyrights by FIN.CO.ID. All Rights Reserved.

PT.Portal Indonesia Media

Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210

Telephone: 021-2212-6982

Email:fajarindonesianetwork@gmail.com