Ekonomi . 28/10/2025, 21:34 WIB
Penulis : Sigit Nugroho | Editor : Sigit Nugroho
fin.co.id — Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan pelaku usaha sawit nasional siap menghadapi aturan anti-deforestasi Uni Eropa atau European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang mulai berlaku Desember 2025. Namun, Ketua Umum Gapki Eddy Martono menilai tantangan terbesar justru berada di tingkat petani.
Eddy menjelaskan, Uni Eropa telah menetapkan masa transisi penerapan EUDR. Perusahaan sawit diberi tenggat waktu enam bulan, sedangkan petani dan pelaku usaha kecil diberi waktu satu tahun untuk menyesuaikan diri dengan aturan tersebut. “Kalau dari sisi perusahaan, Indonesia sebenarnya sudah cukup siap. Hampir semua anggota Gapki tidak ada pembukaan lahan baru setelah 31 Desember 2020,” kata Eddy dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa.
Batas 31 Desember 2020 itu menjadi penanda penting dalam regulasi EUDR, di mana lahan yang dibuka setelah tanggal tersebut dianggap melakukan deforestasi. Menurut Eddy, komitmen perusahaan sawit di Indonesia sudah sejalan dengan ketentuan tersebut karena sejak 2019 pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer serta Lahan Gambut.
Namun, kesiapan itu belum merata di kalangan petani. Eddy mengingatkan bahwa tidak semua petani sawit memiliki sistem dan regulasi yang ketat untuk mengatur pembukaan lahan. Padahal, aturan EUDR menuntut seluruh rantai pasok — dari perusahaan hingga petani — untuk patuh terhadap prinsip keberlanjutan dan transparansi.
Menurut Eddy, perusahaan tidak bisa serta-merta menolak tandan buah segar (TBS) dari petani, terutama dari kelompok mitra binaan. “EUDR ini satu paket. Bukan hanya perusahaan, tapi juga petani harus patuh. Mereka harus masuk ke dalam sistem traceability dan due diligence,” ujarnya.
Karena itu, pemerintah kini tengah mempercepat upaya penyesuaian di lapangan agar petani bisa memenuhi standar EUDR. Salah satu langkah yang dilakukan adalah mempercepat penerbitan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) bagi petani serta memperkuat sistem pelacakan asal produk sawit agar sesuai dengan ketentuan Uni Eropa.
Eddy menilai jika masa transisi satu tahun benar-benar diberikan kepada petani, Indonesia punya peluang besar untuk menyesuaikan sistem dan memperkuat tata kelola sawit nasional. “Satu tahun itu cukup. Perusahaan bisa siap dalam enam bulan, dan petani punya waktu untuk berbenah. Kalau skemanya seperti itu, ekspor ke Eropa seharusnya masih bisa berjalan lancar,” katanya optimistis.
Meski bukan pasar utama, Uni Eropa tetap menjadi tujuan ekspor penting bagi Indonesia. Data Gapki menunjukkan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya ke Eropa terus menurun sejak 2018, yang kala itu mencapai 5,7 juta ton. Angka tersebut turun menjadi 4,1 juta ton pada 2023 dan kembali turun menjadi 3,3 juta ton pada 2024.
Kondisi ini memperlihatkan adanya tekanan regulasi dan perubahan preferensi pasar di Eropa. Meski begitu, Eddy menegaskan bahwa pelaku industri sawit nasional tetap berkomitmen menjaga akses pasar dengan menyesuaikan diri terhadap standar keberlanjutan global.
“Kami sadar EUDR akan menjadi tantangan besar, tapi juga peluang bagi industri sawit Indonesia untuk menunjukkan bahwa sektor ini bisa bertransformasi secara berkelanjutan,” tutupnya. - Antara -
PT.Portal Indonesia Media