Hukum dan Kriminal . 13/11/2025, 19:21 WIB
Penulis : Mihardi | Editor : Mihardi
fin.co.id - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi terhadap Pasal 11 ayat (2) serta Penjelasan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri). Permohonan itu terdaftar dengan Nomor 147/PUU-XXIII/2025.
Dalam gugatan tersebut, tiga mahasiswa, Syukur Destieli Gulo, Christian Adrianus Sihite, dan Devita Analisandra, meminta agar masa jabatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) disamakan dengan masa jabatan presiden dan anggota kabinet.
Hakim Konstitusi Arsul Sani menjelaskan, para pemohon beranggapan bahwa posisi Kapolri sejajar dengan jabatan menteri. Namun, Mahkamah menilai tidak ada alasan konstitusional yang cukup untuk mengubah pendirian dari putusan sebelumnya yang menguji norma serupa.
“Hingga saat ini Mahkamah belum memiliki alasan hukum yang kuat dan mendasar untuk bergeser dari pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-XXIII/2025, maka pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-XXIII/2025 mutatis mutandis berlaku pula dalam mempertimbangkan dalil permohonan a quo,” kata Arsul Sani di Ruang Sidang Pleno MK, Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis, 13 November 2025.
Dalam pertimbangan hukum tersebut, MK menegaskan bahwa jabatan Kapolri bersifat karier profesional dengan batas waktu tertentu, namun tidak ditetapkan secara periodik dan tidak otomatis berakhir bersamaan dengan masa jabatan presiden.
Dengan demikian, pemberhentian Kapolri sepenuhnya menjadi kewenangan presiden berdasarkan evaluasi dan ketentuan perundang-undangan.
Arsul menambahkan, tidak dicantumkannya frasa “setingkat menteri” dalam UU Polri menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang telah menempatkan kepolisian dalam sistem ketatanegaraan sesuai amanat UUD 1945. Jika Kapolri disetarakan dengan menteri, maka posisi tersebut akan mudah dipengaruhi oleh kepentingan politik presiden.
Lebih lanjut, Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 secara tegas menyebutkan bahwa Polri merupakan alat negara. Karena itu, Polri harus mengedepankan tugas menjaga keamanan, ketertiban, dan penegakan hukum di atas kepentingan politik mana pun.
“Artinya, dengan memosisikan jabatan Kapolri menjadi setingkat menteri, Kapolri secara otomatis menjadi anggota kabinet, jelas berpotensi mereduksi posisi Polri sebagai alat negara,” kata Arsul.
Mahkamah menegaskan bahwa perubahan status Kapolri menjadi anggota kabinet akan bertentangan dengan prinsip konstitusional Polri sebagai alat negara yang netral dan independen dari kekuasaan politik.
"Menurut Mahkamah, jabatan Kapolri adalah jabatan karier profesional yang memiliki batas masa jabatan namun tidak ditentukan secara periodik dan tidak secara otomatis berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan Presiden," ujarnya.
(Anisha Aprilia)
PT.Portal Indonesia Media