fin.co.id - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan, Komisi I DPR RI terlalu tergesa-gesa mengesahkan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Seharusnya, kata dia, revisi UU TNI dilakukan secara mendalam.
"Kami menduga hal ini berkaitan dengan masalah penumpukan perwira di lingkungan militer dan stagnasi jabatan. TNI aktif mulai ditempatkan pada jabatan sipil yang bertentangan dengan undang-undang yang ada sebelumnya," kata Hamid di depan Gedung DPR, Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakarta, Kamis 20 Maret 2025.
Menurutnya, hal ini justru membuka celah bagi terjadinya penyalahgunaan kewenangan. Dia mengatakan, Amnesty International sebelumnya telah berusaha terlibat dalam proses pembahasan, namun keterbatasan waktu dan ruang untuk berpartisipasi membuat proses tersebut kurang maksimal.
"Kami berharap dialog antara masyarakat sipil dan DPR bisa terus berlanjut, guna mencegah kembalinya dwifungsi TNI," kata Hamid.
Salah satu hal yang mendapat perhatian dari Amnesty adalah pasal mengenai ancaman siber. Hamid mengapresiasi bahwa DPR akhirnya mengakomodir usulan mereka dengan menambahkan kata "pertahanan" dalam istilah ancaman siber, sehingga tidak membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan.
Namun, ia tetap menegaskan pentingnya kesepakatan yang lebih luas agar supremasi sipil tetap terjaga.
Diketahui, DPR RI telah mengesahkan Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi Undang-Undang dalam rapat paripurna di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis 20 Maret 2025.
Baca Juga
“Tibalah saatnya kami meminta persetujuan fraksi-fraksi terhadap Rancangan Undang-Undang atas perubahan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, apakah dapat disetujui untuk disahkan menjadi Undang-Undang,” kata Puan dalam sidang paripurna.
Angota dewan yang hadir pun berteriak, “Setuju,” diiringi ketuk palu Puan.
(Fajar Ilman)