Hukum dan Kriminal . 15/04/2025, 12:07 WIB
Penulis : Mihardi | Editor : Mihardi
fin.co.id - Mantan Staf Khusus (Stafsus) Bidang Ekonomi Era Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi), Arif Budimanta menyambangi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jalan Kuningan Persada, Setiabudi, Jakarta Selatan. Arif diperiksa terkait dengan kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
"Saya pikir semua keterangan yang dibutuhkan akan ditanyakan oleh penyidik. Tentunya 10 jam itu bukan waktu yang sedikit berarti banyak materi yang perlu dikonfirmasi kepada yang bersangkutan," kata Juru Bicara (Jubir) KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto dikutip, Selasa 15 April 2025.
Dalam pemeriksaan sekitar 10 jam itu, Tesas belum bisa menyampaikan hasil pemeriksaan terhadap Arif yang juga politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu.
"Apakah ada tambahan lagi keterangan yang dibutuhkan oleh penyidik dalam rangka alat bukti tambahan maupun bukti tambahan, bisa jadi, tetapi tidak bisa dikonfirmasi saat ini," tuturnya.
Sekadar diketahui, KPK telah menetapkan lima orang tersangka terkait dengan pemberian fasilitas kredit oleh LPEI ke PT Petro Energy (PE).
Mereka ialah Direktur Pelaksana I LPEI Dwi Wahyudi dan Direktur Pelaksana IV LPEI Arif Setiawan. Kemudian Direktur Utama PT PE Newin Nugroho; Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal atau Komisaris Utama PT PE Jimmy Masrin; dan Direktur Keuangan PT PE Susy Mira Dewi Sugiarta.
Terhadap pemberian kredit oleh LPEI kepada PT PE, KPK menyebut negara mengalami kerugian sejumlah US$18.070.000 (Outstanding pokok KMKE 1 PT PE) dan Rp549.144.535.027 (Outstanding pokok KMKE 2 PT PE).
Dalam hal ini, KPK menduga telah terjadi benturan kepentingan atau Conflict of Interest (CoI) antara Direktur LPEI dengan Debitur PT PE dengan melakukan kesepakatan awal untuk mempermudah proses pemberian kredit.
Direktur LPEI tidak melakukan kontrol kebenaran penggunaan kredit sesuai MAP. Direktur LPEI disebut memerintahkan bawahannya untuk tetap memberikan kredit walaupun tidak layak diberikan.
Adapun PT PE diduga memalsukan dokumen purchase order dan invoice yang menjadi underlyingpencairan fasilitas tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.
PT PE melakukan window dressing terhadap Laporan Keuangan (LK), dan menggunakan fasilitas kredit tidak sesuai dengan tujuan dan peruntukan sebagaimana tertuang dalam perjanjian kredit.
Dalam hal ini, Lembaga antirasuah juga sedang menyelidiki pemberian fasilitas kredit kepada 10 debitur lainnya. Dari sana disebutkan ada potensi kerugian negara hingga mencapai Rp11,7 triliun.
(Ayu Novita)
PT.Portal Indonesia Media