Hukum dan Kriminal . 07/03/2025, 16:53 WIB
Penulis : Mihardi | Editor : Mihardi
Ketika Isran tak sadarkan diri, anaknya Romi dipaksa menarik tangan ayahnya untuk diambil sidik jari. "Kalau tidak dilakukan, Romi diancam akan dikenakan pasal merintangi penyidikan," kata Sugeng.
Sekadar dikeahui, kasus ini bermula pada Oktober 2021, ketika PT ISM menawarkan kerja sama kepada Isran Kuis untuk membantu pembebasan tanah di wilayah adat. PT ISM tahu bahwa masyarakat adat sangat menolak kehadiran mereka, sehingga membutuhkan tokoh lokal seperti Isran Kuis untuk menenangkan warga.
Kesepakatan dibuat di hadapan dua notaris, Maria Olympia Bercelona Djoka dan Ivana Victorya Kamaluddin, di Kutai Barat. Dalam perjanjian, Isran akan membeli tanah dari masyarakat, lalu menjualnya kembali ke PT ISM dengan harga Rp30.000 per meter.
Namun, setelah tanah berhasil dibebaskan, PT ISM hanya membayar Rp1,5 miliar dari total Rp7,5 miliar yang disepakati. Ketika Isran Kuis menagih sisa pembayaran sebesar Rp5 miliar, PT ISM justru melaporkannya ke polisi dengan tuduhan penggelapan uang.
JDHS, manajer PT ISM, memerintahkan staf keuangan membuat laporan polisi ke Polres Kutai Barat. Anehnya, laporan yang masuk pada 23 Oktober 2023 langsung ditingkatkan ke tahap penyidikan tanpa penyelidikan lebih dulu.
Dengan waktu yang singkat tersebut, pada 17 Desember 2024, Isran Kuis ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan surat ketetapan dari Polres Kubar. Selama pemeriksaan, Isran Kuis menjelaskan bahwa kesepakatan dengan PT ISM sudah jelas.
Namun, keterangan penting dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tanggal 13 Agustus 2024 mendadak lenyap. Ketika Romi, anak Isran Kuis, memprotes penghilangan dokumen ini, penyidik mengabaikannya.
Diduga, BAP ini dijadikan alat untuk meminta pendapat ahli pidana demi memperkuat tuduhan kepada Isran Kuis. "Ini jelas penyalahgunaan wewenang dan tindakan tidak profesional dari aparat penegak hukum," tandas Sugeng.
(Adm)
PT.Portal Indonesia Media