Hukum dan Kriminal . 14/04/2025, 09:16 WIB
Penulis : Sigit Nugroho | Editor : Sigit Nugroho
fin.co.id - Penyelidikan Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi minyak goreng kian mengerucut pada satu titik terang: keterlibatan aparat peradilan dalam rekayasa vonis lepas terhadap tiga korporasi raksasa di sektor ekspor Crude Palm Oil (CPO). Nama hakim Djuyamto menjadi sorotan, setelah terungkap sebagai penerima suap terbesar dalam perkara ini.
Peran Djuyamto tak berdiri sendiri. Ia bersama dua rekannya—Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom—duduk sebagai majelis hakim yang memutus perkara tersebut. Ketiganya kini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung.
Kronologi kasus ini dimulai dari penyerahan uang dalam bentuk dolar Amerika oleh pengacara korporasi, Ariyanto, kepada Wahyu Gunawan, seorang panitera muda di PN Jakarta Utara. Dana tersebut kemudian mengalir ke M. Arif Nuryanta, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat. Dari sinilah benang merah skenario vonis mulai dijalin.
Arif dipercaya mengatur komposisi majelis hakim yang akan menangani perkara. Djuyamto ditunjuk sebagai ketua majelis, sementara Ali Muhtarom dan Agam Syarif mengisi posisi hakim anggota. Ketiganya diduga menyepakati pembagian uang suap yang disamarkan sebagai "biaya membaca berkas."
Fakta menarik disampaikan langsung oleh Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar. Ia menyebut bahwa pada tahap awal, uang sebesar Rp4,5 miliar diberikan melalui sebuah goodie bag dan dibagi rata kepada ketiga hakim.
Namun, transaksi tidak berhenti sampai di situ. Dalam kurun waktu September hingga Oktober 2024, Arif kembali menyerahkan uang dalam bentuk dolar senilai Rp18 miliar, yang kali ini diserahkan langsung kepada Djuyamto. Penyerahan berlangsung di lokasi yang terbilang tidak lazim untuk urusan hukum—depan Bank BRI Pasar Baru, Jakarta Selatan.
Dari keseluruhan dana yang diterima, Djuyamto mengantongi jumlah tertinggi. Ia disebut menerima total Rp7,5 miliar. Sebagian dari uang itu bahkan digunakan untuk menyuap panitera lainnya. Sementara itu, Ali Muhtarom mendapat sekitar Rp5 miliar dan Agam Syarif sekitar Rp4,5 miliar. Total yang diterima ketiganya mencapai Rp22,5 miliar, berasal dari dana awal sebesar Rp60 miliar yang digelontorkan oleh pengacara Marcella Santoso.
Tujuan akhir dari pemberian uang ini cukup jelas: memastikan bahwa majelis hakim memutus perkara dengan vonis ontslag—sebuah putusan yang menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah melakukan tindak pidana. Putusan tersebut akhirnya dijatuhkan pada 19 Maret 2025, membebaskan tiga korporasi besar—Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group—dari jeratan hukum.
Kasus dugaan korupsi minyak goreng ini menjadi cermin betapa krusialnya integritas dalam sistem peradilan. Di balik meja hijau, tak hanya hukum yang bicara, tapi juga kekuasaan dan uang. Penetapan para hakim sebagai tersangka diharapkan menjadi langkah awal reformasi, bukan hanya penegakan hukum, tapi juga pembersihan lembaga peradilan dari praktik kotor yang menggerogoti keadilan itu sendiri. (Anisha Aprilia)
PT.Portal Indonesia Media