Megapolitan

Dugaan Pendudukan Aset BMKG oleh GRIB: Konflik Lahan yang Menuai Kontroversi

news.fin.co.id - 25/05/2025, 07:27 WIB

BMKG vs GRIB. Image (Istimewa).

fin.co.id - Sengketa lahan kerap menjadi bara dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa menyulut gejolak sosial. Salah satu kasus terbaru yang menyita perhatian publik datang dari wilayah Kelurahan Pondok Betung, Tangerang Selatan. Di lokasi ini, organisasi masyarakat Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya diduga menduduki aset milik negara yang tercatat atas nama Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

Lahan seluas 127.780 meter persegi sekitar 12 hektare menjadi pusat sengketa antara BMKG dan pihak yang mengklaim sebagai ahli waris. Menurut keterangan, para anggota GRIB Jaya mulai menempati lahan tersebut dua tahun lalu. Namun, klaim itu tidak berdiri tanpa kontroversi. BMKG menyebutkan bahwa lahan tersebut sah dimiliki oleh negara berdasarkan Sertifikat Hak Pakai (SHP) Nomor 1/Pondok Betung yang diterbitkan pada tahun 2003.

Persoalan ini mencuat ke permukaan setelah pihak BMKG melaporkan dugaan pendudukan ilegal ke kepolisian. Alhasil, sebanyak 17 orang yang diduga merupakan anggota GRIB Jaya diamankan. BMKG menyatakan, kelompok tersebut yang dikaitkan dengan tokoh bernama Hercules telah menempati lahan tanpa izin resmi.

Namun di balik tindakan tersebut, tersimpan cerita dari pihak lain. Menurut pengakuan salah satu warga yang mengaku sebagai ahli waris, perjuangan mempertahankan hak atas tanah itu sudah berlangsung lama. Sejak tahun 2007, upaya hukum telah ditempuh dengan mengajukan peninjauan kembali (PK). Sayangnya, hingga tahun 2022, BMKG diklaim belum menerima surat eksekusi yang memungkinkan pengosongan lahan secara hukum.

Advertisement

Rasa putus asa mulai menggelayuti para ahli waris yang sudah mencoba berbagai jalur, termasuk meminta bantuan sejumlah pengacara. Namun, hasilnya tetap nihil. Di tengah keputusasaan itulah, muncul tawaran bantuan dari pihak GRIB Jaya. Salah seorang ahli waris mengaku bahwa GRIB bersedia membantu tanpa meminta bayaran sepeser pun. "Saya orang enggak punya. Dia enggak minta apa-apa, yang penting membantu saya," tuturnya.

Situasi ini pun menimbulkan reaksi beragam di tengah masyarakat. Di satu sisi, BMKG merasa perlu menegakkan hukum dan menjaga aset negara. Di sisi lain, narasi dari pihak ahli waris menciptakan simpati dan menyoroti kesenjangan akses terhadap keadilan.

Kata kunci GRIB dan BMKG menjadi simbol dari dua sisi realitas: antara klaim legal formal dan perjuangan warga yang merasa memiliki hak historis atas tanah. Ketegangan semacam ini menyoroti pentingnya penyelesaian yang adil, transparan, dan tidak berpihak.

Hingga kini, publik masih menanti kejelasan hukum atas sengketa tersebut. Apakah lahan tersebut akan tetap menjadi milik negara, atau justru ditemukan bukti baru yang menguatkan klaim para ahli waris? Yang jelas, konflik ini kembali mengingatkan kita bahwa keadilan agraria bukan sekadar soal dokumen, tetapi juga soal rasa keadilan yang dirasakan masyarakat di akar rumput.

Aries Setianto
Penulis