Teologi itu tak sekadar menjelaskan Tuhan, tetapi juga membela mereka yang dilukai sejarah.
“Teologi Pembebasan lahir dari penderitaan. Dan spiritualitas era AI juga lahir dari kesadaran bahwa dunia modern memerlukan tafsir baru atas makna, iman, dan kemanusiaan. Kita ingin membawa tafsir spiritual ini ke dua ruang: kelas dan masyarakat,” ujar Denny.
LUKA SOSIAL, PELUANG SPIRITUAL
Spiritualitas, bagi Denny, tak boleh berhenti di langit ide. Ia harus menjejak tanah konflik, luka, dan realitas sosial.
Ia mengingatkan data riset LSI yang mencatat lima tragedi besar akibat politik identitas dan agama:
•Konflik Islam–Kristen di Ambon (1999–2001)
•Kerusuhan etnik dan agama di Jakarta (Mei 1998)
•Konflik Dayak–Madura di Kalimantan Tengah (2001)
Baca Juga
•Ketegangan etnik di Lampung antara pendatang Bali dan warga lokal (2001–2002)
•Konflik antar paham Islam di Mataram, NTB (2000an)
“Luka-luka itu belum benar-benar sembuh,” ujarnya lirih. “Tapi di tengah luka, selalu ada celah untuk cahaya.”
Dan di situlah spiritualitas baru harus bekerja—bukan untuk menggantikan iman lama, melainkan untuk menyalakan kembali esensinya yang universal: kasih, pengertian, dan keadilan.
“Yang kita lakukan ini baru langkah kecil. Tapi ia berada di jalan yang benar,” tutup Denny. “Kita sedang membentuk kurikulum baru, membuka forum lintas iman, dan memulai gerakan akademik dan sosial yang punya kedalaman spiritual.”
“Apakah berhasil? Itu urusan masa depan. Tapi kita telah memulainya hari ini. Dan sejarah, kerap berpihak pada mereka yang berani memulai.
Esoterika Fellowship Masuk Kampus sendiri merupakan bagian dari gerakan Forum Esoterika. Program yang dipimpin oleh Ahmad Gaus AF dan Dr. Budhy Munawar Rachman ini membawa spirit pesan universal agama yang merupakan warisan kultural milik kita bersama. *