Nasional

12 Tewas dalam Kecelakaan Bus ALS, Djoko: Pemerintah Potong Dana Keselamatan

news.fin.co.id - 06/05/2025, 15:05 WIB

Kecelakaan Bus ALS di Padang Panjang, Selasa, 6 Mei 2025. (Antara News)

fin.co.id - Tragedi di Terminal Bukit Surungan, Kota Padang Panjang, meninggalkan duka yang mendalam. Sebuah bus Antar Lintas Sumatera (ALS) terguling pada Selasa, 6 Mei 2025 pagi, menewaskan 12 orang dan melukai sedikitnya 22 penumpang lainnya. Dugaan sementara, rem blong menjadi penyebab kecelakaan tunggal ini. Namun, bagi Djoko Setijowarno, akar persoalannya jauh lebih kompleks.

Djoko, akademisi dari Unika Soegijapranata sekaligus Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, menyayangkan lemahnya perhatian terhadap keselamatan transportasi darat di Indonesia. Ia menyebut tragedi seperti ini bukan kali pertama, dan bisa terus berulang selama sistem keselamatan tak berjalan sebagaimana mestinya.

“Sistem Manajemen Keselamatan (SMK) tidak berjalan karena anggarannya tidak ada. Untuk melakukan ramp check saja tidak dianggarkan,” ungkap Djoko kepada fin.co.id, saat dihubungi melalui sambungan telpon, Selasa, 6 Mei 2025.

Efisiensi yang Salah Sasaran

Bagi Djoko, langkah efisiensi pemerintah sudah melampaui batas wajar, bahkan menyentuh sektor-sektor vital seperti keselamatan penumpang. Pemotongan anggaran di bidang ini dinilainya sebagai blunder besar yang bisa merenggut nyawa masyarakat.

Advertisement

“Pemerintah itu efisien boleh, tapi program-program keselamatan jangan dipotong,” ujarnya menegaskan.

Kritik Djoko bukan tanpa alasan. Dalam kecelakaan Bus ALS yang mengangkut penumpang rute Medan–Jakarta itu, indikasi minimnya pengawasan teknis kendaraan menjadi sorotan. Ramp check—prosedur pengecekan kondisi teknis kendaraan sebelum beroperasi—bahkan tidak dilakukan karena ketiadaan anggaran.

Tanggung Jawab Bukan Hanya di Sopir

Menurut Djoko, penyidikan kecelakaan selama ini cenderung menyalahkan pengemudi. Padahal, perusahaan bus juga punya tanggung jawab besar terhadap kelayakan kendaraan dan kesehatan pengemudi.

“Jangan hanya sopir yang diperiksa. Perusahaan juga harus bertanggung jawab atas pemeliharaan kendaraan dan pengaturan waktu kerja sopir,” katanya.

Ia mengingatkan kembali kasus kecelakaan di Tanjakan Emen, Subang, di mana investigasi membuktikan adanya manipulasi servis kendaraan oleh bengkel dan perusahaan otobus. Menurutnya, pola seperti ini bisa saja terulang jika tak ada pengawasan menyeluruh.

Advertisement

KNKT Juga Terjepit

Sorotan Djoko tak berhenti di situ. Ia juga mengungkapkan bahwa Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) sendiri mengalami kekurangan anggaran. Padahal, lembaga ini berperan penting dalam investigasi dan pencegahan kecelakaan.

“KNKT itu nggak ada anggaran. Konyol, kan? Negara tidak boleh memotong anggaran untuk keselamatan,” ucapnya.

Perlu Revisi Aturan Jam Kerja Sopir

Dalam pandangan Djoko, keselamatan pengemudi juga harus diperhatikan dari sisi regulasi. Saat ini, undang-undang hanya mengatur jam kerja sopir per hari, tanpa ada batasan mingguan atau bulanan.

“Istirahat sopir hanya diatur per hari, delapan jam. Tapi dalam seminggu atau sebulan tidak diatur. Ini perlu direvisi,” tegas Djoko.

Laporan yang Tak Sesuai Realita

Di akhir pernyataannya, Djoko menyinggung soal laporan yang diberikan oleh pembantu presiden. Ia menganggap laporan tersebut terlalu indah dan tidak mencerminkan kenyataan di lapangan.

“Pembantu presiden bohongin presidennya. Kita akademisi ingin bantu, bukan malah disuguhi laporan yang tidak benar,” tuturnya.

Advertisement

Sigit Nugroho
Penulis