fin.co.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengidentifikasi 17 poin kritis dalam Revisi Kitab Undang-UndangHukum Acara Pidana (RKUHAP) yang tengah dibahas DPR RI. Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, menyoroti bahwa sejumlah pasal bermasalah dapat membuka peluang penyalahgunaan wewenang.
"Masih hadirnya pasal-pasal bermasalah yang tidak sesuai dengan prinsip due process of law sehingga berpotensi adanya abuse of power," ujar Lakso kepada Disway Group, Kamis, 17 Juli 2025.
Menurutnya, ruang diskresi yang luas pada draf tersebut rawan disalahgunakan, sehingga penting melibatkan publik dalam pembahasan undang-undang ini.
"Ini mengapa proses pembahasan KUHAP menjadi penting untuk didorong agar adanya penerimaan atas masukan-masukan substantif dari masyarakat sipil," lanjutnya.
Lakso menambahkan bahwa upaya pelemahan terhadap KPK bukan fenomena baru. Dari 17 poin yang disusun KPK, beberapa menandakan pelanggaran terhadap prinsip lex specialis yang semestinya diterapkan dalam UU KPK.
Ia mencatat bahwa beberapa kewenangan KPK terancam dikurangi, mulai dari penanganan penyelidik internal hingga pembatasan penyadapan dan penyerahan berkas ke pengadilan.
"Ini bisa menjadi 'silent way' dalam upaya memperlemah kewenangan KPK, khususnya pada pelaksanaan operasi tangkap tangan (OTT)," tegasnya.
Baca Juga
Lakso menekankan bahwa penyadapan dan penyelidikan merupakan fondasi utama operasional OTT. Hambatan di prasyarat ini akan berdampak besar pada efektifitas penindakan KPK.
"Apabila tidak ada perubahan berarti ini adalah langkah nyata untuk menghapuskan OTT," tegasnya.
Seruan untuk Hentikan dan Libatkan Publik
Lakso juga menyatakan keprihatinannya terhadap potensi intervensi dalam pengaturan proses perkara yang dilakukan KPK.
Ia menyinggung revisi UU KPK pada 2019 yang telah melemahkan posisi KPK, dan menegaskan pentingnya proses legislasi yang melibatkan publik.
"Jangan sampai tragedi ini semakin parah dengan adanya free riders yang menjadikan KPK semakin terpuruk," imbuhnya.
Dia mendesak penghentian pembahasan RKUHAP yang dinilai problematik dan menekankan bahwa partisipasi publik harus diberikan ruang yang nyata.
"Untuk itu, penghentian pembahasan KUHAP bermasalah harus dihentikan dan partisipasi publik secara substantif harus dilakukan untuk mendukung langkah tersebut," pungkasnya.
Logo KPK/Ilustrasi (Ayu Novita/Disway)