fin.co.id — Guru Besar Hukum Pertambangan Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof. Dr. Abrar Saleng, menegaskan Kepala Teknik Tambang (KTT) memiliki kewenangan penuh untuk menjaga wilayah kerja sesuai izin usaha pertambangan (IUP). Menurutnya, KTT hanya menjalankan amanat Undang-Undang Minerba dalam melindungi area tambang dari ancaman penyerobotan atau pencurian.
Dalam sidang sengketa patok lahan antara PT Wana Kencana Mineral (PT WKM) dan PT Position di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (29/10/2025), Prof. Abrar menepis tudingan bahwa KTT menghalangi pihak lain. Ia menegaskan, tidak ada istilah “KTT menghalangi atau merintangi penyerobotan lahan” dalam ketentuan hukum pertambangan.
“KTT bertanggung jawab sesuai UU untuk menjaga wilayahnya dalam IUP. Jadi, tidak ada istilah KTT dianggap menghalangi atau merintangi pihak yang melakukan penyerobotan,” kata Prof. Abrar dalam kesaksiannya di persidangan.
Ia menjelaskan, tanggung jawab KTT mencakup seluruh wilayah tambang, baik yang sudah memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan (PPKH) maupun yang belum. Karena itu, tindakan KTT PT WKM dalam menjaga wilayah tambang miliknya dinilai sah secara hukum dan merupakan bagian dari kewajiban profesional.
“KTT adalah penanggung jawab penuh atas wilayah penambangan. Ia wajib memastikan batas wilayahnya jelas dan terlindungi,” jelasnya.
KTT Punya Peran Ganda: Wakil Perusahaan dan Negara
Prof. Abrar memaparkan bahwa KTT memegang dua peran penting sekaligus, yakni sebagai perwakilan perusahaan dan juga perwakilan negara. Ia menjelaskan, posisi tersebut membuat KTT memiliki tanggung jawab ganda: melindungi kepentingan korporasi sekaligus menjaga aset tambang sebagai kekayaan negara.
“KTT bekerja atas nama perusahaan, tetapi pada saat yang sama dia juga menjalankan tugas negara untuk menjaga aset sumber daya alam,” tegasnya.
Baca Juga
Oleh sebab itu, menurut Prof. Abrar, penerapan Pasal 162 Undang-Undang Minerba terhadap dua pekerja PT WKM, Awwab Hafidz dan Marsel Bialembang, tidak relevan. Ia menilai tindakan mereka justru merupakan bagian dari tugas KTT dalam melindungi wilayah pertambangan agar tidak diserobot.
“Hukum seharusnya melindungi KTT karena mereka menjalankan amanat negara. Figur KTT, termasuk di PT WKM, tidak bisa dikenai Pasal 162 UU Minerba,” ujarnya.
Pemasangan Patok dan Portal Kayu Merupakan Tindakan Preventif
Lebih lanjut, Prof. Abrar menjelaskan bahwa KTT wajib memasang batas patok untuk menandai wilayah pertambangan yang sah sesuai izin. Pemasangan portal kayu atau tanda pembatas juga termasuk bentuk peringatan agar tidak ada pihak luar yang memasuki area tanpa izin.
“Pemasangan patok bukan tindakan penghalangan, tetapi langkah preventif agar wilayah tambang tidak diserobot,” tuturnya.
Pernyataan saksi ahli ini memperkuat posisi hukum PT WKM dalam sengketa patok lahan yang kini masih berproses di pengadilan. Sidang tersebut menghadirkan saksi dari pihak kuasa hukum PT WKM untuk memberikan keterangan teknis dan hukum terkait tindakan KTT di lapangan.
Sengketa PT WKM vs PT Position Masih Berlanjut
Kasus ini bermula dari sengketa lahan tambang antara PT Wana Kencana Mineral (PT WKM) dan PT Position. Dua pekerja PT WKM, Awwab Hafidz dan Marsel Bialembang, diduga melakukan tindakan menghalangi pihak lain dalam sengketa batas wilayah tambang. Namun, Prof. Abrar menegaskan bahwa tindakan tersebut merupakan bagian dari kewajiban hukum seorang KTT.
Ia menambahkan, penegakan hukum di sektor pertambangan seharusnya tidak mengkriminalisasi pekerja tambang yang menjalankan tugasnya sesuai aturan. Sebaliknya, hukum harus menjadi pelindung bagi mereka yang menjaga aset negara dari potensi kerugian akibat penyerobotan lahan tambang.
“Menjaga wilayah pertambangan bukan hanya kepentingan perusahaan, tetapi juga kepentingan negara. Karena itu, KTT seharusnya tidak diposisikan sebagai pihak yang bersalah,” tegas Prof. Abrar.
Saksi Ahli dan Guru Besar Hukum Pertambangan Prof. Dr. Akbar Saleng (IST)