Nasional . 08/11/2025, 16:18 WIB

Tokoh Syarikat Islam Gorontalo: Pernyataan Megawati Tunjukkan Luka Sejarah Belum Pulih

Penulis : Mihardi  |  Editor : Mihardi

fin.co.id - Pimpinan Syarikat Islam Provinsi Gorontalo, Ridwan Monoarfa, menilai pernyataan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri yang menolak wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, menunjukkan bahwa Megawati belum sepenuhnya berdamai dengan masa lalunya, khususnya terkait hubungan politik antara keluarganya dan Soeharto.

Menurut Ridwan, pernyataan Megawati tersebut bukan sekadar bernuansa emosional, tetapi juga mengesankan adanya sikap politik yang masih menyimpan rasa dendam terhadap sejarah masa lalu.

“Pernyataan Ibu Megawati memberi pesan bahwa beliau belum berdamai dengan masa lalunya, khususnya hubungannya dengan Pak Harto. Yang lebih jauh dari itu, justru mengesankan masih ada sikap politik yang didorong oleh rasa dendam,” ujar Ridwan di Gorontalo, Sabtu (8/11/2025).

Ridwan menilai semangat rekonsiliasi nasional yang tengah digagas Presiden Prabowo Subianto seharusnya menjadi momentum kebangsaan yang didukung oleh seluruh tokoh, terutama mereka yang pernah menjadi bagian penting dalam perjalanan sejarah Indonesia.

Namun, menurutnya, sikap Megawati justru dapat menjadi hambatan bagi upaya besar tersebut.

Rekonsiliasi nasional itu tumbuh dari kesadaran dan partisipasi aktif dari mereka yang disebut korban kebijakan politik tertentu. Jadi, sikap Bu Megawati boleh jadi bukan hanya menghambat, tapi berpotensi menggagalkan gagasan besar rekonsiliasi nasional yang digagas Presiden Prabowo,” tegasnya.

Ridwan menambahkan, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menatap masa depan tanpa terus terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya sendiri.

Dalam pandangannya, Ridwan mengajak publik untuk meneladani tokoh-tokoh bangsa yang meskipun memiliki perbedaan politik tajam, tetap menempatkan kepentingan persatuan dan kemanusiaan di atas segalanya.

“Terkait keteladanan tokoh yang berseberangan politik tanpa kehilangan sikap kritis, kita mesti meneladani Ali Sadikin, Gus Dur, dan tokoh-tokoh lainnya. Mereka menyadari bahwa masa lalu adalah tesis dari dialektika masa depan—sebuah anti-tesis yang harus diwariskan kepada generasi muda dengan mengambil nilai terbaik dan menguburkan yang buruk sebagai sintesis sejarah,” jelasnya.

Ridwan menegaskan, berdamai dengan masa lalu bukan berarti melupakan, tetapi mengelola pengalaman sejarah menjadi pelajaran bagi masa depan bangsa.

Lebih jauh, Ridwan menyampaikan bahwa jasa besar Presiden Soeharto terhadap bangsa Indonesia tidak berhenti ketika ia tak lagi berkuasa, bahkan tetap berlanjut setelah wafatnya.

“Jasa besar Soeharto, sebagaimana juga Bung Karno, tidak berhenti ketika mereka tidak berkuasa lagi, apalagi setelah wafat. Dalam konteks ini saya ingin menegaskan bahwa warisan Soeharto patut dijadikan inspirasi bagi generasi penerus,” tutur Ridwan.

Ia menyebut sedikitnya tiga warisan penting dari masa kepemimpinan Soeharto yang masih dirasakan hingga kini:

1. Daya beli masyarakat yang kuat (purchasing power) — menjadi fondasi berlanjutnya pertumbuhan ekonomi nasional.

2. Institusi birokrasi dan TNI yang solid — berperan dalam menjaga keutuhan dan stabilitas Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Share artikel ini :

TERKINI

TERPOPULER

           
© 2024 Copyrights by FIN.CO.ID. All Rights Reserved.

PT.Portal Indonesia Media

Alamat: Graha L9 Lantai 3, Jalan Kebayoran Lama Pal 7 No. 17, Grogol Utara, Kebayoran Lama, RT.7/RW.3 Kota Jakarta Selatan 12210

Telephone: 021-2212-6982

Email:fajarindonesianetwork@gmail.com