Nasional

Permahi Gorontalo Sebut Penghargaan untuk Soeharto Cerminan Kedewasaan Bangsa

news.fin.co.id - 09/11/2025, 22:51 WIB

Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Gorontalo, Moh Sahrul Lakoro.

fin.co.id - Rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada almarhum Presiden ke-2 RI, HM Soeharto, seharusnya dimaknai sebagai wujud kedewasaan bangsa dalam menyikapi sejarah, bukan sebagai upaya melupakan masa kelam. Hal itu disampaikan oleh Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Gorontalo, Moh Sahrul Lakoro.

Menurut Sahrul, pernyataan Megawati Soekarnoputri yang menolak wacana tersebut dengan alasan masih adanya “luka sejarah yang belum sembuh” mencerminkan sisi emosional dan trauma personal yang belum sepenuhnya terselesaikan. Namun, ia menilai bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menilai sejarah secara utuh, menempatkan jasa dan kesalahan dalam proporsi yang adil.

“Kita tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Mengakui jasa Soeharto tidak berarti menutup mata terhadap kekeliruan masa lampau. Justru di situlah letak kebesaran bangsa yang mampu menilai dengan jujur, bukan dengan dendam,” ujar Sahrul di Gorontalo, Minggu, 9 November 2025.

Ia menegaskan bahwa rekonsiliasi sejati hanya bisa lahir jika bangsa berani menghadapi sejarah dengan moralitas dan kejujuran.

“Rekonsiliasi sejati hanya dapat lahir dari pengakuan terhadap kebenaran sejarah. Tanpa itu, kita akan terus terjebak dalam ingatan yang tak selesai,” ujarnya.

Lebih lanjut, Sahrul menekankan pentingnya menilai kelayakan Soeharto secara objektif dan proporsional. Menurutnya, sejarah tidak bisa dilihat secara hitam-putih, melainkan sebagai rangkaian kompleks dari perjalanan bangsa.

Soeharto membawa Indonesia pada masa pembangunan dan stabilitas nasional yang panjang, mulai dari swasembada pangan, pembangunan infrastruktur, hingga penguatan posisi Indonesia di dunia internasional. Selain itu, sejarah Soeharto adalah mosaik yang kompleks, ada jasa besar yang patut dihargai, tapi juga ada sisi gelap yang harus diakui. Keadilan sejarah menuntut keberanian untuk melihat keduanya secara jernih,” tuturnya.

Sahrul menilai, pemberian gelar Pahlawan Nasional harus berlandaskan pada prinsip hukum dan keadilan moral, bukan kepentingan politik atau sentimen pribadi. Ia mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan yang menekankan dua kriteria utama: jasa luar biasa dan keluhuran moral.

“Soeharto jelas memenuhi kriteria jasa luar biasa terhadap bangsa. Adapun aspek keluhuran moral perlu dikaji secara menyeluruh, bukan untuk menghakimi masa lalu, tapi untuk menegaskan bahwa penghargaan negara adalah bentuk legitimasi moral yang berdasar,” ujarnya.

Sahrul menilai bahwa penghargaan terhadap Soeharto dapat menjadi momentum moral untuk memperkuat rekonsiliasi nasional. Menurutnya, bangsa yang mampu menghormati jasa tanpa menafikan luka masa lalu adalah bangsa yang telah matang secara moral dan politik.

“Jika bangsa ini bisa menghargai jasa Soeharto tanpa meniadakan luka yang ditinggalkannya, itu menunjukkan bahwa kita sudah dewasa secara politik dan moral,” katanya.

Ia juga berharap, proses ini dapat menjadi pelajaran bagi generasi muda untuk memandang sejarah secara terbuka dan objektif.

“Bangsa yang kuat bukan bangsa yang membungkam masa lalunya, tetapi bangsa yang mampu belajar dari sejarahnya untuk memperbaiki masa depannya,” tegasnya.

Sahrul menutup dengan menekankan bahwa Soeharto, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, tetap merupakan bagian penting dari perjalanan bangsa. Memberikan penghargaan kepadanya akan menjadi simbol kedewasaan bangsa jika dilakukan secara transparan dan berkeadilan.

“Bangsa yang besar bukan yang melupakan masa lalunya, melainkan yang menatap sejarah dengan keberanian dan kebijaksanaan. Menghormati Soeharto secara proporsional berarti meneguhkan keadilan sejarah, bukan menafikan luka,” tutupnya.

Mihardi
Penulis