Politik

Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu Dinilai Langgar Konstitusi, Supriyanto Soroti Inkonsistensi

news.fin.co.id - 06/07/2025, 21:45 WIB

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK).

fin.co.id - Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu kembali memicu perdebatan hangat. Apakah langkah Mahkamah Konstitusi (MK) memisahkan jadwal pemilu nasional dan daerah benar-benar sejalan dengan konstitusi? Anggota DPR RI, Supriyanto, melontarkan kritik tajam, menyebut keputusan MK justru berpotensi melanggar UUD 1945, seperti dilansir hari ini, 6 Juli 2025.

Supriyanto: Pemisahan Pemilu Tak Sesuai UUD 1945

Menurut Supriyanto, Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu Nomor 135/PUU-XXII/2024 berisiko mengacaukan siklus pemilu lima tahunan yang selama ini menjadi amanat konstitusi.

“Pemilu seharusnya digelar lima tahun sekali untuk memilih presiden, wakil presiden, DPR, DPD, dan DPRD. Kalau dipisah dengan jeda 2,5 tahun, ini jelas tidak sesuai konstitusi,” tegas Supriyanto dalam keterangannya pada Minggu, 6 Juli 2025.

Ia menilai jarak waktu terlalu panjang antara pemilu nasional dan pemilu daerah membuat masa jabatan anggota DPRD berpotensi tidak lagi berlangsung lima tahun penuh. Hal itu, menurut Supriyanto, melanggar Pasal 22E UUD 1945 yang mengatur siklus pemilu serentak.

MK Dinilai Langgar Batas Kewenangan

Selain itu, Supriyanto mengkritik MK yang dianggap melangkahi kewenangan pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah. Ia menyebut MK seharusnya fokus menguji undang-undang terhadap konstitusi, bukan menciptakan norma baru melalui putusan.

“MK bukan pembuat undang-undang. Tugas pokok MK adalah menguji UU terhadap UUD 1945, bukan menambah norma baru,” ungkapnya.

Supriyanto juga menuding MK inkonsisten karena sebelumnya selalu menolak gugatan terkait presidential threshold dengan alasan hal itu merupakan ranah open legal policy.

“Dulu uji materi presidential threshold selalu ditolak karena dianggap wewenang pembentuk undang-undang. Tapi sekarang, MK justru menambahkan norma baru soal pemisahan pemilu,” ujar Supriyanto.

Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu Dinilai Berpotensi Kacaukan Siklus Demokrasi

Seperti dikutip dari putusan yang dibacakan pada 26 Juni 2025, MK memutuskan pemilu nasional untuk memilih presiden, wakil presiden, DPR RI, dan DPD RI, digelar terpisah dari pemilu daerah yang meliputi pemilihan DPRD provinsi/kabupaten/kota serta kepala daerah. Pemilu daerah akan digelar 2 hingga 2,5 tahun setelah pemilu nasional.

Supriyanto mengingatkan bahwa pada 2019, MK sempat mengeluarkan Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang mendorong model pemilu serentak. Atas dasar putusan itu, pemerintah dan DPR pun menggelar Pemilu Serentak 2024.

“Pemilu serentak sudah dijalankan 2024. Tapi belum lama, MK justru mengubah arah dengan putusan baru ini yang memisahkan pemilu nasional dan daerah,” katanya.

Desak Kepastian Hukum

Supriyanto mengkhawatirkan putusan MK akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan mengganggu konsistensi siklus kepemimpinan nasional dan daerah.

“Kita butuh kepastian hukum dan konsistensi dari MK sebagai penjaga konstitusi, bukan justru memperumit tata kelola demokrasi,” pungkasnya. (ANTARA)

Sigit Nugroho
Penulis