Politik

RKUHAP 2025 Dikritik Dosen Hukum: Minim Transparansi, Berpotensi Lemahkan KPK

news.fin.co.id - 19/07/2025, 10:34 WIB

KUHAP. Foto: Istimewa

fin.co.id - Forum Dosen Hukum Pidana Indonesia menyampaikan keprihatinan terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) 2025. Forum yang terdiri dari para Guru Besar dan Dosen Hukum Pidana ini mendesak agar proses pembahasan dilakukan secara terbuka dan melibatkan publik secara menyeluruh.

"Presiden RI dan DPR RI menghentikan pembahasan RKUHAP 2025 dan mengembalikannya ke proses yang transparan, dan partisipatif, serta berbasis bukti dan penelitian, sejalan dengan prinsip negara hukum," bunyi pernyataan resmi yang dikutip pada Sabtu, 19 Juli 2025.

Menurut mereka, rancangan yang saat ini dibahas tidak mencerminkan semangat reformasi hukum pidana dan justru berpotensi memperkuat kekuasaan represif aparat penegak hukum, sekaligus mengesampingkan prinsip keadilan prosedural.

"Kami juga mencermati bahwa proses pembahasan RKUHAP berlangsung dengan minim partisipasi publik yang bermakna," lanjutnya.

Para akademisi ini mengkritik bahwa pemerintah dan DPR hanya mendengarkan sebagian kecil kelompok secara selektif, sementara pihak-pihak yang akan terdampak langsung justru tidak diberi ruang menyampaikan pendapat dan pengalaman mereka.

"Padahal, partisipasi masyarakat secara bermakna adalah syarat konstitusional sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020," tegasnya lagi.

Hal tersebut dinilai sebagai pelanggaran terhadap prinsip keterbukaan dalam proses legislasi.

Mereka pun mendesak agar RKUHAP disusun ulang secara substansial, dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, seperti kalangan akademik, perguruan tinggi, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), LSM, para penyintas, serta lembaga independen seperti Komnas HAM, KY, Komnas Perempuan, LPSK, dan Ombudsman.

Lebih jauh, keterlibatan ahli dalam penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) hanya dianggap sebagai pelengkap administratif dan alat legitimasi formal, bukan sebagai mitra substansial dalam penyusunan norma hukum.

"Para akademisi tidak benar-benar dilibatkan secara mendalam dalam proses perumusan norma, dan hanya diberikan informasi perkembangan dokumen DIM secara terbatas dan sepihak. Ini menunjukkan bahwa masukan akademik hanya difungsikan sebagai formalitas, bukan sebagai landasan ilmiah dan normatif dalam pembentukan hukum," jelasnya.

RKUHAP 2025 juga dikhawatirkan menimbulkan persoalan implementasi. Pasal 332 hingga 334 menyebutkan bahwa RKUHAP akan berlaku mulai 2 Januari 2026, sementara aturan pelaksananya akan dibuat setelahnya.

"Artinya, akan ada kekosongan norma selama setahun yang berpotensi menimbulkan kekacauan implementasi. Dengan waktu yang sangat terbatas, belum ada kepastian soal kesiapan aparat penegak hukum maupun pelaksanaan sosialisasi dan pelatihan kepada publik secara menyeluruh," tegas para dosen.

Mereka juga meminta agar sistem hukum pidana Indonesia dibangun melalui integrasi dan harmonisasi menyeluruh antara KUHAP dan KUHP, sehingga benar-benar mencerminkan nilai keadilan, modernitas, serta sesuai dengan prinsip konstitusi dan standar HAM internasional.

RKUHAP Dikhawatirkan Melemahkan KPK

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Setyo Budiyanto, turut menyuarakan kekhawatiran terhadap sejumlah poin dalam RKUHAP yang dinilai dapat mengurangi kewenangan lembaganya.

Mihardi
Penulis