fin.co.id – Kegiatan pertambangan rakyat kini mendapat pengakuan resmi melalui Izin Usaha Pertambangan Rakyat (IUPR) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025.
Namun, pemerintah diharap tetap dapat menjaga pemberian izin kepada tambang rakyat tetap harus berpijak pada prinsip Environment, Social, and Governance (ESG).
Penerapan prinsip ini menjadi penting agar kegiatan tambang rakyat tidak hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi, tetapi juga memperhatikan dampak sosial terhadap masyarakat sekitar serta kelestarian lingkungan.
Dengan demikian, aktivitas pertambangan rakyat dapat berjalan secara berkelanjutan dan tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari.
Adapun, pemerintah dan DPR saat ini tengah memperkuat kerangka hukum melalui terbitnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025. Beleid ini merupakan revisi UU Nomor 3 Tahun 2020, yang dinilai perlu diperbarui untuk menjawab tantangan tata kelola pertambangan modern, termasuk penegakan hukum dan peningkatan tanggung jawab sosial serta lingkungan di sektor minerba.
Diharapkan, UU No.2/2025 tentang Minerba ini menjadi instrumen kunci untuk menertibkan praktik pertambangan ilegal (illegal mining) yang selama ini marak terjadi dan merugikan negara serta masyarakat.
Melalui regulasi ini, pemerintah berupaya memastikan setiap kegiatan pertambangan baik skala besar maupun rakyat berjalan sesuai aturan, transparan, dan memiliki manfaat nyata bagi pembangunan daerah.
Baca Juga
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Sugeng Suparwoto menyampaikan, melalui undang-undang baru ini, pemerintah membuka ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan pertambangan secara legal dan berkelanjutan.
“Melalui undang-undang ini, kami membuka ruang dengan mengakui Izin Usaha Pertambangan Rakyat (IUPR), termasuk untuk sektor mineral, namun dengan syarat mutlak harus berpijak pada prinsip ESG,” katanya.
Sugeng pun berharap komitmen pemerintah terhadap penegakan hukum di sektor minerba harus dijalankan dengan mendorong keterlibatan komunitas lokal dalam kegiatan pertambangan. Penerapan ESG, lanjutnya, menjadi panduan penting agar partisipasi masyarakat dalam sektor ini tetap memperhatikan keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
“Dengan demikian, tambang rakyat dapat beroperasi dalam koridor hukum sekaligus berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat tanpa mengabaikan kelestarian lingkungan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Sugeng menyoroti masalah mendasar yang kerap dihadapi negara-negara kaya sumber daya alam, yaitu fenomena resource curse atau “kutukan tambang”.
Menurutnya, potensi sumber daya alam yang melimpah terkadang justru menjadi masalah sosial dan ekonomi apabila tidak dikelola dengan prinsip tata kelola yang baik. Hal ini bisa memunculkan ketimpangan, konflik sosial, hingga kerusakan lingkungan apabila pengelolaan sumber daya tidak berpijak pada prinsip keberlanjutan.
Ia menambahkan, dengan memperkuat kebijakan berbasis ESG, diharapkan “kutukan tambang” yang selama ini menjadi momok dapat diubah menjadi peluang pembangunan yang berkeadilan. Prinsip ini diyakini mampu mendorong praktik pertambangan yang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga menjaga keseimbangan sosial dan ekologis di seluruh daerah Indonesia.
Sugeng mencontohkan, masih terjadi ketidakadilan sosial dan disparitas pendapatan antara wilayah pertambangan dan non-pertambangan, serta antara kawasan luar Jawa dan Jawa. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kekayaan alam belum sepenuhnya memberi manfaat secara merata bagi masyarakat.