fin.co.id - Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar membeberkan awal mula pengusutan kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina-KKKS 2018-2023.
Ia menjelaskan kasus ini berawal dari adanya temuan masyarakat. Dari situ, pihaknya menerbitkan sprindik kasus ini teregister dengan Nomor: PRIN-59/F.2/Fd.2/10/2024. Hal itu dilakukan pada 24 Oktober 2024.
"Awalnya itu kita masuknya dari situ (informasi terkait kualitas BBM), lalu dibuat telaahannya, kemudian dilakukan penyelidikan," kata Harli di Kejagung, Rabu, 26 Februari 2025.
Dia menambahkan, isu kualitas BBM itu kemudian dihubungkan dengan persoalan lain seperti kenaikan harga bahan bakar.
Dari sanalah, penyidik akhirnya melakukan pendalaman. Hingga akhirnya, singkat cerita Kejagung menemukan periode kasus ini dimulai dari periode 2018-2023.
"Sementara penyelidikannya kan sudah di 2024. Tapi peristiwa-peristiwa itu dijadikan merangkai, menguatkan argumentasi kita untuk masuk," ujar Harli.
Sebagai informasi, saat ini Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah menangani perkara korupsi tata kelola minyak dan produk kilang pada PT Pertamina, sub-holding dan kontraktor kontrak kerja sama pada periode 2018-2023.
Baca Juga
Sejauh ini sudah ada tujuh orang tersangka yang dijerat. Empat di antaranya merupakan petinggi di subholding Pertamina, berinisial RS, SDS dan YF dan AP.
Sementara tiga lainnya dari pihak swasta. Mereka adalah MKAR (Muhammad Kerry Andrianto Riza) selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa; DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim; GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Merak.
Salah satu tersangka yakni Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan disebut membeli pertalite dan dioplos menjadi pertamax.
"Ini tadi modus termasuk yang saya katakan RON 90 ya, tetapi dibayar RON 92. Kemudian, diblending, dioplos, dicampur," kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Abdul Qohar di kantornya, Jakarta Selatan, Selasa, 25 Februari 2025.
Atas perbuatannya, negara mengalami kerugian keuangan negara sekitar Rp 193,7 triliun. (Anisha Aprilia)