fin.co.id - Beberapa tahun terakhir, dunia mulai menyadari pola aneh di balik berbagai krisis yang sengaja dihadirkan. Setelah narasi "wabah dan kesehatan" mulai kehilangan daya paksa, muncul isu baru yang lebih mengkhawatirkan: krisis energi dan serangan siber.
Bali baru saja mengalami blackout besar-besaran, mengikuti jejak Portugal dan Spanyol yang sebelumnya juga dilanda pemadaman massal. Apakah ini kebetulan? Atau justru bagian dari skenario besar menuju 2030 blackout—sebuah momen di mana listrik dan internet bisa menjadi alat kontrol mutlak?
1. Candu Listrik & Internet: Strategi "Drug Dealer" Global
Kita hidup di era ketergantungan ekstrem pada listrik dan internet. Bayangkan: tanpa keduanya, hampir semua aspek kehidupan modern lumpuh. Inilah yang disebut fase "drug dealer", di mana kita adalah para "junkie"-nya.
Jika hari ini blackout hanya berlangsung beberapa jam, bagaimana jika durasinya diperpanjang? Satu hari? Seminggu? Atau bahkan lebih? 2030 blackout bisa menjadi ujian ketergantungan manusia. Dan seperti biasa, ketika kepanikan melanda, solusi akan ditawarkan: akses energi terkontrol—dengan syarat tertentu.
Bali dipilih sebagai lokasi uji coba karena di sini warga dunia berkumpul. Apa yang terjadi di Bali akan cepat menyebar ke seluruh dunia—tanpa perlu kampanye media besar-besaran.
2. Saviorism: Solusi Palsu di Balik Krisis Energi
Baca Juga
Setelah menciptakan masalah, tawarkan solusi. Itulah pola klasik yang selalu dipakai.
Pasca-blackout di Bali, Gubernur Wayan Koster langsung mengumumkan perlunya sumber energi mandiri. Narasinya? "Ramah lingkungan, zero emisi, dan berkelanjutan." Persis seperti skenario Great Reset yang digaungkan para elit global.
Climate change, energi terbarukan, dan larangan plastik tiba-tiba menjadi agenda utama. Greta Thunberg dan para aktivis iklim dijadikan tameng, seolah-olah mereka yang merancang semua kebijakan ini. Padahal, di balik layar, segelintir kelompok punya rencana lain: menguasai distribusi energi dunia.
3. Blackout & Kerusuhan Sosial: Resiko yang Disengaja?
Selain kontrol energi, blackout berkepanjangan berpotensi memicu instabilitas sosial. Di Indonesia, situasi politik sedang memanas: isu Jokowi's unmasked, RUU TNI, Mayday, hingga munculnya ormas baru seperti Erkules.
Bayangkan jika blackout terjadi berhari-hari di tengah kondisi seperti ini. Penjarahan, kerusuhan, dan kekerasan bisa dengan mudah diprovokasi. Dan seperti biasa, tangan-tangan tak terlihat akan mengambil keuntungan dari setiap krisis.
Kesimpulan: Apakah 2030 Blackout Hanya Permulaan?
Fenomena blackout di Bali, Portugal, dan Spanyol mungkin baru simulasi kecil menuju skenario besar. Jika listrik dan internet bisa dimatikan sesuka hati, maka siapa pun yang mengontrolnya akan memiliki kekuasaan mutlak.