fin.co.id - Kejaksaan Agung resmi mengungkap dugaan korupsi dalam pengadaan satelit di Kementerian Pertahanan (Kemhan). Proyek yang seharusnya memperkuat posisi Indonesia di slot orbit 123° Bujur Timur (BT) ini justru berubah menjadi beban negara dengan kerugian mencapai ratusan miliar rupiah.
Kasus ini menyeret tiga nama sebagai tersangka, termasuk seorang purnawirawan TNI berpangkat Laksamana Muda. Pengungkapan ini tidak hanya membuka borok tata kelola pengadaan di tubuh Kemhan, tapi juga menyeret nama Indonesia ke meja hijau arbitrase internasional.
Tanpa Lelang, Proyek Satelit Diikat Kontrak Fiktif
Proyek senilai Rp466 miliar ini bermula dari kontrak antara Kemhan dengan perusahaan asal Swiss, Navayo International AG. Namun penyidik menemukan bahwa kontrak ditandatangani tanpa proses lelang resmi dan mengandung banyak kejanggalan.
"Kontrak dilakukan secara sepihak tanpa mekanisme pengadaan. Bahkan dokumen pelaksanaannya dipalsukan," ungkap Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, dalam konferensi pers, Selasa, 7 Mei 2025.
Kontrak yang diteken pada Juli 2016 ini justru berujung pada kekalahan Indonesia di arbitrase internasional dan kewajiban membayar lebih dari Rp300 miliar kepada pihak swasta asing.
Peran Tiga Tersangka dan Modus yang Dipakai
Tersangka utama, Laksda TNI (Purn) L, saat itu menjabat Kepala Badan Sarana Pertahanan sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Ia diduga menandatangani kontrak tanpa proses verifikasi dan pengujian, serta mengesahkan pembayaran atas barang yang tak sesuai spesifikasi.
Tersangka kedua, ATVDH, berperan sebagai perantara yang merekomendasikan Navayo tanpa prosedur resmi. Sementara tersangka ketiga, GK, yang merupakan Direktur Navayo, disebut mengirim barang yang tidak sesuai—termasuk 550 unit ponsel tanpa secure chip—dan menuntut pembayaran melalui jalur arbitrase.
Baca Juga
Modus korupsi dalam kasus ini mencakup pemberian proyek tanpa tender, pengadaan barang fiktif, serta pemalsuan dokumen Certificate of Performance (CoP). Nilai proyek berdasarkan audit BPKP bahkan hanya sekitar Rp1,92 miliar, jauh dari nilai kontrak yang disepakati.
Negara Tak Hanya Rugi, Tapi Juga Malu
Kekalahan Indonesia di pengadilan arbitrase Singapura berdampak lebih luas. Pemerintah diwajibkan membayar kompensasi besar, dan lebih parahnya, pengadilan Prancis sampai memutuskan untuk membekukan sejumlah aset diplomatik milik Indonesia, termasuk rumah dinas Atase Pertahanan di Paris.
Kondisi ini menjadi tamparan keras terhadap manajemen proyek strategis di sektor pertahanan. Bukannya memperkuat posisi Indonesia secara geopolitik, proyek ini justru membuat negara merugi dan kehilangan muka di panggung internasional.
Potensi Tersangka Baru Masih Terbuka
Kejagung menegaskan penyidikan masih berlanjut. Fokus saat ini adalah menelusuri aliran dana dan potensi keterlibatan pihak lain. Harli Siregar memastikan bahwa proses hukum tak akan berhenti pada tiga tersangka ini saja.
“Penyidik masih mendalami keterlibatan aktor lain, termasuk dugaan aliran dana yang melibatkan pihak di luar struktur resmi,” jelas Harli.
Ketiga tersangka dijerat dengan pasal-pasal dalam UU Tindak Pidana Korupsi, termasuk Pasal 2 dan 3 tentang penyalahgunaan wewenang, serta Pasal 18 terkait pengembalian kerugian negara. Mereka juga dikenakan Pasal 55 dan 64 KUHP tentang perbuatan pidana bersama.
Kasus dugaan korupsi pengadaan satelit di Kemhan ini jadi pengingat bahwa proyek strategis tak boleh dijalankan dengan cara-cara instan dan serampangan. Ketika pengadaan tidak transparan dan akuntabilitas diabaikan, yang dirugikan adalah negara, rakyat, dan reputasi Indonesia di mata dunia. (*)