Ekonomi

Defisit Melebar, Fiskal Menyempit: Ibarat Cicil Motor Baru, Tapi Tak Dipakai

news.fin.co.id - 08/07/2025, 08:01 WIB

Tol Dalam Kota Jakarta

fin.co.id - Di tengah melemahnya perekonomian global, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengumumkan bahwa defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada tahun 2025 telah diperlebar dari Rp 616 triliun, menjadi Rp 662 triliun atau 2,78 persen PDB. 

Angka tersebut naik 2,53 persen dari PDB sebelumnya, demi memastikan stabilitas ekonomi terjaga, pertumbuhan tetap tumbuh, dan daya beli rakyat tidak jatuh.

Menurut Sri Mulyani, saat ini negara juga tengah dihadapkan dengan pelemahan penerimaan pendapatan. 

Hal ini sendiri disebabkan karena beberapa faktor seperti melemahnya harga komoditas, pembatalan implementasi PPN 12 persen (kecuali barang mewah), serta pengalihan dividen BUMN ke BPI Danantara.

Kendati begitu, Menkeu Sri Mulyani juga menyatakan kesiapannya dalam menjaga angka defisit APBN untuk tahun 2026 nanti untuk tetap berada di level yang signifikan.

"Kami akan tetap menjaga 2,53 persen dari PDB," ucap Menkeu Sri Mulyani usai menghadiri rapat dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, pada Senin 7 Juli 2025.

Dalam hal ini, dirinya juga turut menegaskan komitmen dirinya dan pemerintah untuk tetap menjaga dan berhati-hati dalam mengurus pembiayaan dan pengelolaan APBN, yang sesuai dengan arahan pemerintah.

"Sesuai dengan kekhawatiran yang disampaikan oleh DPR, kami akan terus menjaga (APBN) sesuai dengan amanat tersebut," ucapnya.

Tidak Menjadi Solusi Jangka Panjang

Di sisi lain, ekonom menilai langkah ini justru malah menandakan adanya kelemahan struktural fiskal kita yang tak kunjung dibenahi. 

Pasalnya, risiko defisit melebar sangat nyata yaitu utang makin besar, beban bunga makin berat, ruang fiskal makin sempit. 

Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat turut menyoroti alasan pelebaran defisit, yang malah dipicu oleh prioritas politik, bukan rasionalitas fiskal. 

Menurutnya, APBN berhemat di belanja operasional kecil tapi menambah pengeluaran masif di program-program baru yang belum terbukti efektif. 

"Program-program populis seperti Makan Bergizi Gratis, yang membutuhkan Rp 71 triliun, menguras fiskal di tengah penerimaan pajak yang justru melambat akibat penurunan harga komoditas global," jelas Achmad ketika dihubungi oleh Disway.

"Jika diteruskan, APBN bukan lagi shock absorber, melainkan bom waktu fiskal yang menunggu meledak," tambahnya.

Khanif Lutfi
Penulis