Ekonomi

Kritik Pedas Ekonom! Redenominasi Rupiah Hanya 'Kosmetik Angka', Bukan Solusi Big Problem Ekonomi RI

news.fin.co.id - 10/11/2025, 19:05 WIB

Ilustrasi Rupiah (Gambar oleh iqbal nuril anwar- Pixabay)

fin.co.id – Rencana ambisius Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa untuk merealisasikan Redenominasi Rupiah semakin memicu kegaduhan. Meskipun bertujuan merampingkan angka mata uang (menghapus tiga nol), kebijakan ini justru menuai kekhawatiran dan kritik keras dari kalangan ekonom dan pakar kebijakan publik. Mereka melihat rencana Redenominasi Rupiah sebagai langkah yang salah waktu dan minim persiapan.

Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, secara tegas menyebut redenominasi bukanlah jawaban untuk tantangan ekonomi nyata yang sedang dihadapi Indonesia. Saat ini, masyarakat masih menghadapi tekanan serius, seperti pengangguran muda yang mencapai angka mencemaskan, yaitu lebih dari 8 persen. Selain itu, daya beli masyarakat kelas menengah bawah belum pulih sepenuhnya, dan tekanan fiskal dari subsidi energi serta Bantuan Sosial (Bansos) terus meningkat.

Achmad menilai rencana redenominasi ini kurang relevan di tengah situasi ekonomi yang masih rapuh dan investasi yang cenderung stagnan. Ini seolah-olah hanya menjadi kebijakan kosmetik yang berupaya menampilkan citra ekonomi yang lebih kuat dari kenyataan sebenarnya.

"Redenominasi seolah ingin memberi kesan 'ekonomi kita sudah siap'. Padahal, kesiapan sejati bukan diukur dari panjang pendeknya angka di mata uang, melainkan dari ketahanan ekonomi masyarakat dan efektivitas kebijakan publik," tegas Achmad Nur Hidayat, Senin (10/11/2025).

Jangan Cepat-Cepat! Stabilitas Rupiah Masih Rapuh

Pakar ekonomi memperingatkan Pemerintah agar tidak terburu-buru meniru keberhasilan redenominasi yang terjadi di negara lain. Achmad Nur Hidayat mencontohkan keberhasilan redenominasi di negara-negara dengan pondasi ekonomi yang sangat kuat dan kepercayaan publik tinggi, seperti Turki pada tahun 2005 atau Korea Selatan yang melakukannya secara bertahap. Sayangnya, kondisi fundamental tersebut belum sepenuhnya tercipta di Indonesia.

Menurut Achmad, stabilitas rupiah Indonesia saat ini masih sangat bergantung pada intervensi Bank Indonesia (BI). Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS masih bergerak di atas level psikologis Rp16.000. Tekanan impor yang tinggi dan ekspor yang melambat membuat ruang gerak kebijakan moneter semakin sempit. Kondisi ini membuat kebijakan show-off seperti redenominasi menjadi sangat berisiko.

Jika redenominasi dipaksakan di tengah kerentanan ini, Achmad khawatir hasilnya tidak akan optimal. Redenominasi tidak serta-merta memperkuat kurs Rupiah jika fundamentalnya belum solid.

Efek Psikologis dan Risiko Kebingungan Pasar

Selain faktor makroekonomi, risiko terbesar lainnya datang dari faktor psikologis masyarakat. Achmad Nur Hidayat menyoroti bagaimana masyarakat Indonesia masih sangat berorientasi pada nominal besar.

"Masyarakat kita masih berorientasi pada nominal besar. Seribu rupiah dianggap 'uang kecil', dan perubahan menjadi 'satu rupiah baru' bisa menimbulkan kebingungan dalam harga pasar," sambungnya. Kebingungan ini berpotensi memicu gejolak harga di tingkat ritel, di mana pedagang bisa saja melakukan pembulatan harga (rounding up) secara sepihak, yang pada akhirnya merugikan daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah.

Jika masyarakat kelas menengah bawah, yang daya belinya belum pulih penuh, justru menjadi korban kebingungan harga pasca-redenominasi, tujuan mulia dari kebijakan ini akan langsung gagal. Redenominasi yang seharusnya meningkatkan efisiensi dan kredibilitas, malah bisa menjadi tumbal bagi kepercayaan publik terhadap mata uang nasional.

Menko Airlangga Bikin Adem: Rencana Redenominasi Belum Dibahas

Merespons kegaduhan dan kritik dari para ekonom, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memberikan pernyataan yang sedikit meredakan suasana FOMO ini. Menko Airlangga menyatakan bahwa rencana Redenominasi Rupiah tersebut belum akan dibahas dalam waktu dekat.

Pihaknya juga belum dapat memastikan apakah Presiden RI Prabowo Subianto akan memberikan dukungan politik terhadap rencana redenominasi Rupiah tersebut dalam waktu dekat. Pernyataan Menko Airlangga ini memberikan sedikit ruang bernapas bagi para pengambil kebijakan dan ekonom yang mengkritik perlunya persiapan yang jauh lebih matang.

"Tidak dalam waktu dekat, nanti kita bahas ya," ucap Menko Airlangga singkat. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa Pemerintah masih mempertimbangkan waktu dan kondisi yang tepat, serta mungkin menunda implementasi kebijakan show-off ini sampai tekanan makroekonomi benar-benar mereda.

Para ekonom mendesak Pemerintah untuk lebih fokus pada tantangan struktural yang sebenarnya: stabilitas nilai tukar Rupiah dari intervensi BI, pemulihan daya beli, dan penyerapan pengangguran muda. Redenominasi hanyalah 'kosmetik angka' jika 'kesehatan' ekonomi di dalamnya belum benar-benar prima. - Bianca Khairunnisa/Disway

Sigit Nugroho
Penulis