Nasional

[Editorial] Keamanan Lalu Lintas Indonesia di Ambang Kehancuran

news.fin.co.id - 06/02/2025, 08:55 WIB

Petugas mengevakuasi bus yang mengalami kecelakaan di Kilometer 77+200 Jalan Tol Pandaan-Malang, Jawa Timur, Senin. (ANTARA/Ananto Pradana)

Oleh: Sigit Nugroho

Pemimpin Redaksi fin.co.id

Kecelakaan lalu lintas yang menelan nyawa seakan menjadi bagian dari pemandangan sehari-hari di Indonesia. Tidak ada yang baru—kecelakaan itu terus berulang, korban terus berjatuhan. Jika kita berhenti sejenak dan merenung, kita akan mendapati fakta mengerikan: jalan-jalan yang seharusnya menjadi sarana penghubung antar manusia, justru menjadi pembunuh diam-diam. Ini adalah peringatan keras yang tak boleh dianggap sepele, terutama saat kita menyaksikan data tragis yang menunjukkan lonjakan angka kecelakaan. Pada tahun 2024, Indonesia mencatatkan lebih dari 25 ribu nyawa melayang akibat kecelakaan lalu lintas. Angka itu berarti, setiap jam, tiga hingga empat orang tak lagi bisa merasakan hangatnya matahari.

Mengapa ini terjadi? Salah satunya adalah fenomena ODOLOverdimensional and Overloading—yang semakin marak di jalan raya. Truk-truk berukuran raksasa, membawa muatan berlebihan dengan kelalaian pengemudi yang tidak terkontrol, sering kali menjadi biang keladi dari kecelakaan yang menimbulkan kehancuran. Pemerintah, dengan segala regulasinya, seakan absen dalam menyelesaikan persoalan ini. Usaha untuk mengatasi masalah ini terhambat oleh berbagai kepentingan sektoral dan lobi dari kelompok pengusaha, yang lebih mementingkan keuntungan instan ketimbang nyawa rakyat.

Lebih parah lagi, ada kecelakaan yang melibatkan kendaraan roda dua yang mencapai angka 78%. Bayangkan, jika truk ODOL menambah dampak buruk di jalan, korban yang jatuh seringkali adalah mereka yang terluka parah. Generasi produktif yang semestinya menjadi motor penggerak ekonomi negara malah terenggut secara sia-sia, di jalan yang seharusnya mereka lalui dengan aman.

Advertisement

Tahun 2024 ini, laporan Korlantas Polri mengungkapkan bahwa 98 persen dari kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan barang dan bus disebabkan oleh human error. Tidak ada yang membantah, kita semua tahu bahwa kesalahan manusia—kelelahan pengemudi, kelalaian dalam menjaga kondisi kendaraan, hingga pengabaian terhadap waktu istirahat—adalah faktor utama. Namun, apakah kita cukup siap untuk menerima kenyataan ini sebagai sesuatu yang tak terhindarkan? Tidak! Keselamatan lalu lintas adalah tanggung jawab bersama, dan tidak ada alasan untuk berdiam diri.

Dengan kondisi yang kian mengkhawatirkan ini, pemerintah harus segera melangkah tegas. Program keselamatan lalu lintas jangan sampai dipangkas—karena anggaran keselamatan ini adalah kunci untuk menjaga keselamatan jutaan nyawa. Kementerian Perhubungan dan pihak terkait lainnya harus menggandakan upaya untuk menanggulangi truk ODOL dan menegakkan regulasi dengan lebih keras. Jangan biarkan tragedi berulang tanpa adanya perubahan berarti. Jangan tunggu sampai keluarga pejabat pun menjadi korban. Sudah terlalu banyak korban berjatuhan.

Bappenas dan WHO sudah menyarankan pendekatan Safer System yang mencakup integrasi seluruh elemen transportasi dengan memperhatikan kerentanannya (Djoko Setijowarno, 5/2). Jika sistem ini dijalankan dengan sungguh-sungguh, kita bisa mengurangi fatalitas kecelakaan secara drastis, dan Indonesia bisa mencapai target SDGs tentang keselamatan jalan. Tidak ada lagi alasan untuk menunda-nunda. Peraturan yang ada harus ditegakkan, termasuk pembatasan jam kerja pengemudi dan pemeriksaan kendaraan secara berkala. Truk-truk ODOL harus segera dilarang. Pemerintah tidak boleh terus memberi angin pada para pelaku industri yang lebih mementingkan keuntungan daripada keselamatan publik.

Kepada Presiden Prabowo Subianto, inilah saatnya untuk bertindak. Indonesia kini sedang berada dalam status darurat keselamatan transportasi. Satu langkah kecil untuk mengurangi angka kecelakaan dapat menyelamatkan ribuan nyawa. Oleh karena itu, tidak ada lagi kata ‘menunda’. Pembentukan Satgas Darurat Keselamatan Transportasi Darat, seperti yang pernah dilakukan dalam penanganan COVID-19, menjadi hal yang sangat penting. Penegakan hukum yang tegas dan cepat harus menjadi prioritas utama, dengan mengedepankan sinergi antara aparat penegak hukum, kementerian, dan lembaga terkait.

Tidak ada lagi alasan untuk membiarkan jalan-jalan kita menjadi kuburan massal. Selama masih ada waktu, kita masih bisa menyelamatkan banyak jiwa. Namun, untuk itu, langkah konkret dari pemerintah sangat dibutuhkan. Jangan biarkan anggaran keselamatan lalu lintas terpangkas, jangan biarkan truk ODOL terus mendominasi jalan-jalan kita, dan jangan biarkan ketidaktahuan dan kelalaian mengorbankan lebih banyak nyawa. Sesungguhnya, keberanian untuk bertindak sekarang akan menyelamatkan kita di masa depan.

Advertisement

Peraturan Presiden Nomor 107 tahun 2006 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Penguji Kendaraan Bermotor sudah selayaknya direvisi mengingat sudah lama dan perkembangan teknologi kendaraan bermotor juga semakin menuntut keahlian khusus. Besarnya tunjangan rentang Rp 200 ribu – Rp 440 ribu per bulan sesuai jabatannya. Sudah selayaknya dinaikkan rentang Rp 2 juta – Rp 4 juta per bulan.

Keberadaan PKB dapat dialihkan ke pemerintah pusat agar mudah dalam hal pengawasan. Selain itu juga tidak membebani pemda terlebih sekarang tidak pemasukan bagi pemda, lantaran uji laik kendaraan bermotor tidak dikenakan tarif.

Digitalisasi penegakan hukum proses penimbnangan kendaraan bermotor. Kondisi UPPKB atau jembatan tibang sudah tidak optimal. Kapasitas UPPKB tidak bisa menampung volume kendaraan barang yang lewat. Diperlukan Weight in Motion (WIM) sebagai pengganti UPPKB. WIM diintegrasikan dengan sistem denda elektronik berbasis Artifisial Inteligent (AI).

Menghapus truk ODOL adalah keharusan bukan pilihan. Indonesia akan terus mengalami kerugian ekonomi dan meningkatnya angka kecelakaan. Kepercayaan publik terhadap tata kelola transportasi akan semakin merosot. (Sigit Nugroho)

Sigit Nugroho
Penulis